Kisah Kuntjoro Pinardi dan Seratus Ibu-ibu Papua Menerangi Seribu Rumah Gelap di Pedalaman Terpencil
Mengukur nasionalisme bukan hanya dari perjuangan di medan perang. Di alam merdeka, nasionalisme bisa dilakukan dengan memberikan sumbangsih bagi negara. Salah satunya adalah lewat pembangunan.
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mengukur nasionalisme bukan hanya dari perjuangan di medan perang. Di alam merdeka, nasionalisme bisa dilakukan dengan memberikan sumbangsih bagi negara. Salah satunya adalah lewat pembangunan.
Seperti itulah yang dilakukan oleh Dr. Ir. Kuntjoro Pinardi, M.Sc., seorang cendekiawan yang rela meninggalkan kehidupan impiannya demi membantu masyarakat pedalaman Papua. Ia rela turun gunung, mengorbankan karirnya di Eropa untuk membantu memberikan penerangan kepada ribuan rumah gelap di pedalaman terpencil, ujung timur Indonesia.
Yang menarik, bukan hanya membangun sebuah proyek. Kuntjoro juga melibatkan masyarakat untuk bergerak bersama, yang artinya juga meningkatkan kesejahteraan warga sekitar. Ia mengajak ratusan ibu-ibu untuk bekerja sama memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Merelakan karir cemerlang di luar negeri demi membangun bangsa Sebagai catatan, Kuntjoro sebelum melakukan aksi nyatanya membangun negeri adalah seorang diaspora yang bermukim di luar negeri selama hampir 20 tahun. Tak hanya berkarir
di sana, Kuntjoro yang merupakan lulusan Delft University of Technology di Belanda tersebut juga menjadi seorang guru besar madya dari salah satu perguruan tinggi di Swedia.
Namun hati dan pikiran Kuntjoro ada di Indonesia. Di tengah kesuksesan dan jaminan masa depan cerah, tahun 2004 ia justru memilih untuk pulang ke Tanah Air dan bekerja menjadi dosen serta profesional di bidang telekomunikasi dan IT. Ia juga turut andil dalam berbagai proyek teknologi dengan hasil yang baik.
Menerangi Pelosok Indonesia Yang Belum Terjangkau Listrik Kisah penuh inspirasi dari seorang Kuntjoro Pinardi ini diawali di tahun 2011, ketika beberapa putra bangsa mengabdikan diri bersama masyarakat Papua dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), tepatnya di Desa Wehali, Sorong Selatan, Papua Barat. Saat itu, Kuntjoro memikirkan tentang masih belum tersentuhnya pelosok-pelosok terdalam Indonesia oleh listrik meski sudah puluhan tahun merasakan kemerdekaan.
Kuntjoro mengakui bahwa ketertarikannya untuk mengambil dan melaksanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini bukan semata karena faktor materi saja, tetapi juga ada faktor sosial di dalamnya. Secara tegas ia menekankan bahwa ketertarikannya untuk membangun Papua bukan karena proyek Mikrohidro, tetapi juga memperbaiki image branding masyarakat yang saat itu selalu memiliki stigma negatif bagi masyarakat Indonesia di daerah lain.
“Nilai project saya waktu itu tidak besar, membangun Mikrohidro setara dengan 120 kilowatt. Jadi produksi bisa menangani daya 120.000, kira-kira bisa (mengaliri) 1.000 rumah,” kenang alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.
Berbagai tantangan ia alami dalam pembangunan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ia menceritakan bahwa desain untuk PLTMH di Desa Wehali tersebut ternyata memiliki kesalahan karena mustahil untuk membangun di tanah masyarakat yang bisa memicu konflik dan potensi gangguan dalam pembangunan proyek tersebut.
Kuntjoro Memberdayakan masyarakat sekitar dalam pembangunan proyeknya Selain tantangan, proyek PLTMH di Desa Wehali juga menghadirkan kisah yang penuh inspirasi. Saat memulai pembangunan Mikrohidro tersebut, tim yang dibawa Kuntjoro sangat minimal.
“Saya pergi ke Papua tanpa membawa pengawalan security. Jadi tidak kontak Polisi, TNI. Saya datang ke sana hanya membawa satu admin untuk pengelolaan project, tiga tukang, yaitu dua tukang las dan satu tukang kayu dan batu,” tutur Kuntjoro.
Tim yang sangat minimal itu dirasa cukup bagi Kuntjoro untuk membangun jaringan pipa sepanjang 400 meter sebagai sarana pendukung untuk pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Selain itu, Kuntjoro juga melakukan metode yang berbeda dalam
pembuatan jaringan pipa tersebut dengan tidak mengandalkan pelat baja, yang biasa digunakan dalam pembangunan PLTMH.
Menurut Kuntjoro tidak mungkin membawa pelat baja dan menggulungnya menjadi pipa di Desa Wehali. Ia kemudian memutuskan untuk membeli 36 pipa jadi dengan panjang 12 meter untuk efisiensi pengerjaan, terutama dalam proses pengelasan.
Demi menghindari proyek yang mangkrak karena kehabisan dana, efisiensi yang dilakukan Kuntjoro adalah dengan mengajak para ibu-ibu di sekitar Desa Wehali untuk membantunya menyelesaikan pembangunan PLTMH tersebut. Ia meminta bantuan ratusan wanita menarik pipa-pipa seberat dua ton sepanjang 300 meter.
Selain itu, Kuntjoro juga memberdayakan masyarakat dengan memberi pendidikan kepada mereka tentang bagaimana menghasilkan batu untuk pondasi. Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur PT PAL ini mengaku tidak membawa dan membeli batu. Kepada warga yang membantu pembangunan, ia mengajari cara mencari batu di sungai, kemudian mengolahnya untuk pembuatan bendungan. Pun begitu juga membangun rumah turbin, Kuntjoro juga mengajak orang-orang untuk membuat batu bata sendiri.
Pembangunan PLTMH ini meninggalkan kesan mendalam bagi Kuntjoro kepada masyarakat Papua. Ia menganggap bahwa mereka bukanlah orang-orang pemalas. Justru sebenarnya warga Papua kurang beruntung karena lapangan kerja yang sangat minim. Ia melakukan pendekatan dengan hati dan percaya bahwa masyarakat Papua adalah pribadi-pribadi yang penuh semangat, yang mau diajak bekerja sama selama kita memberi mereka peluang untuk usaha.
Kuntjoro juga menekankan bahwa pendekatan dengan hati ini relevan dalam membangun di daerah-daerah pelosok. Ia sudah membuktikan lewat proyek-proyeknya di Desa Wehali dan berbagai daerah lainnya. Dengan melibatkan masyarakat sekitar, suatu pembangunan akan lebih lancar dan manfaatnya juga lebih maksimal.
“Ketuklah hati mereka, ayo ajak maju bersama. Mereka bisa, kok,” pungkas Kuntjoro.
Apa Reaksi Anda?