Anggota Komisi VII DPR RI Kritisi Penetapan Target Produksi Minyak dan Gas Bumi
Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtarudin, mengeluarkan kritik terhadap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terkait penetapan u ...
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtarudin, mengeluarkan kritik terhadap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terkait penetapan usulan target produksi minyak dan gas bumi siap jual atau lifting dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.
Mukhtarudin menyatakan bahwa SKK Migas telah melanggar kesepakatan penetapan lifting Migas yang telah disepakati dalam rapat internal Komisi VII DPR RI, yaitu berkisar antara 630 hingga 660 barel per hari (bopd). Namun, dalam surat resmi yang dikirim pada tanggal 29 Mei 2023, lifting Migas ditetapkan sebesar 625 bopd, mengubah kesepakatan tersebut dalam waktu kurang dari sebulan.
"Jika pemerintah belum memiliki angka final, sebaiknya jangan mengirimkan surat resmi. Ini menunjukkan kekurangan profesionalisme. Hal ini berkaitan dengan kehidupan banyak orang dan juga terkait dengan postur APBN kita," ungkap Mukhtarudin.
Kritik tersebut disampaikan oleh politisi dari Partai Golkar dari Dapil Kalimantan saat Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Gedung Nusantara Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 7 Juni 2023.
Meskipun demikian, Komisi VII DPR RI dan Menteri ESDM telah menyetujui usulan target produksi minyak dan gas bumi siap jual atau lifting dalam RAPBN 2024. Asumsi target lifting minyak bumi telah ditetapkan dalam kisaran 615 hingga 640 ribu barel per hari (bopd), sementara lifting gas bumi berada pada kisaran yang sama, yaitu 1.030 hingga 1.036 barrel oil equivalent per day (boepd).
Selain itu, Komisi VII juga menyetujui penetapan usulan ongkos pengangkatan minyak dan gas bumi atau cost recovery pada tahun 2024 sebesar US$8 hingga US$8,25 miliar. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi tahun 2022 sebesar US$7,85 miliar.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menjelaskan bahwa penurunan tren lifting minyak disebabkan oleh kendala dalam pengeboran sumur minyak di lapangan kerja (WK). Pemerintah telah memberikan insentif fiskal kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam upaya meningkatkan pengeboran, namun hasilnya belum sesuai harapan karena sebagian besar sumur yang ada merupakan sumur tua.
Pemerintah berharap bahwa blok-blok migas yang ada, seperti Blok Cepu di antara Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dan Bojonegoro, Jawa Timur, dapat meningkatkan produksi migas nasional.
Mukhtarudin juga menyampaikan keraguan terhadap pencapaian target produksi minyak sebesar 1 juta bopd pada tahun 2030, mengingat bahwa selama 4 tahun sejak target tersebut diumumkan pada tahun 2019, lifting minyak hanya mencapai sekitar 600 ribu bopd.
Dalam rangka meningkatkan lifting minyak dan gas, Mukhtarudin mengusulkan agar pemerintah merevisi target produksi minyak sebesar 1 juta bopd dan gas sebesar 12.000 mmcfd pada tahun 2030. Jika pencapaian target tersebut jauh di bawah harapan, hal ini akan mengganggu Rencana Jangka Panjang Pembangunan Pertambangan (RJPP) dan penyusunan strategi energi nasional, termasuk neraca migas nasional dan perencanaan penyediaan crude oil, BBM, dan gas.
Mukhtarudin menambahkan bahwa untuk meningkatkan lifting minyak dan gas, diperlukan kegiatan eksplorasi yang masif. Hal ini dapat terwujud jika investor besar atau major player tertarik untuk berinvestasi di sektor hulu migas Indonesia. Investor tersebut akan mempertimbangkan risiko negara yang rendah, ketentuan fiskal yang menarik, serta ketersediaan data geologi, geofisika, reservoir, dan produksi yang komprehensif dari blok-blok migas yang ditawarkan. (*)
Apa Reaksi Anda?