Soal Raperda Pendidikan DIY, Aktivis Minta Pasal Pungutan Liar Dihapus

DPRD DIY akan menggodok Program Pembentukan Peraturan Daerah DIY Tahun 2023 khususnya pada Triwulan 3. ... ... ...

Maret 5, 2023 - 05:40
Soal Raperda Pendidikan DIY, Aktivis Minta Pasal Pungutan Liar Dihapus

TIMESINDONESIA – DPRD DIY akan menggodok Program Pembentukan Peraturan Daerah DIY Tahun 2023 khususnya pada Triwulan 3. Salah satunya adalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan.

Raperda tersebut memasukan masyarakat sebagai salah satu kelompok yang harus membiayai pendidikan melalui sebuah “Pungutan”. Tentu hal tersebut pun dinilai akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks. Alih-alih menyelesaikan masalah pendidikan yang ada, pemerintah serta DPRD DIY justru akan menutup akses pendidikan bagi masyarakat miskin dan melegalkan pungutan liar itu sendiri di ranah pendidikan menengah dan khusus DIY.

Persoalan ini dibahas serius dalam konsolidasi “Raperda pendidikan DIY menutup akses bagi masyarakat miskin dan melegalkan pungutan liar” yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta di Kantor LBH Yogyakarta, Sabtu (4/3/2023).

Pertemuan dan konsolidasi di Kantor LBH Yogyakarta ini dihadiri oleh Komunitas Sarang Lidi, Lembaga Kajian Islam dan Sosial, Social Movement Institute, AJI Yogyakarta, PPMI, Sanggar Anak Alam, Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai, Gusdurian, Aksi Kamisan Yogyakarta, Koalisi Lintas Isu, Pundi, Aksara, Pukat UGM, Pelajar Muhammadiyah DIY, Orang Tua SMAN 1 Wates.

Kemudian, Gerakan Nasional Pendidikan, Komite Kampus Yogyakarta, BEM UNY, UNY Bergerak, BEM UGM, Aliansi UGM, BEM UMY, UMY Bergerak, Ruang Gerak UMY, Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Front Mahasiswa Nasional, Liga Forum Studi Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia dan Sekolah Bersama (Sekber).

Kepada media, Komunitas dari Sarang Lidi, Purnomo Siditambi menegaskan menolak adanya praktek pungutan yang diterapkan dari Perda yang akan dimunculkan oleh pemerintah DIY itu. Ia menyayangkan jika dalam Perda tersebut disamaratakan di pendidikan swasta dan pendidikan yang diselenggarakan dari tingkat pusat maupun daerah.

Sejak awal, lanjutnya, pendidikan perlu dipisahkan mana pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, daerah, dan mana pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Tentu hal ini pihaknya menolak adanya pungutan yang diterapkan dalam Perda itu.

“Perda itu muncul seakan-akan menyamaratakan di pendidikan swasta dan pendidikan negeri dari pemerintah itu sendiri. Kami mengusulkan untuk yang negeri agar segera dihapus atau tidak diterapkan dalam pasal di raperda itu,” tegas Purnomo.

Purnomo yang juga sebagai Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta menyebutkan, jika dalam Raperda ini yang mesti diperbolehkan adalah dalam bentuk sumbangan maupun bantuan. Purnomo menganggap hal itu memang pantas diperjuangkan demi majunya sistem pendidikan di DIY khususnya.

Bahkan, kata dia, pada tahun 2021 lalu, sekitar ribuan siswa tidak bisa mengambil ijazah karena belum membayar sumbangan dan pungutan sebesar Rp500.000 hingga Rp2.000.000. Tidak hanya itu saja, hampir semua sekolah di DIY masih menerapkan mekanisme pungutan bagi orang tua murid dengan dalil pembangunan sekolah, memanipulasi perihal pengadaan pakaian dan masih banyak lagi.

“Hal ini dianggap sebagai suatu hal yang sangat lumrah padahal persoalan yang dihadapi pelajar dan orang tua begitu besar. Hal ini malah justru dapat respon positif dari Dinas Pendidikan dan Olahraga DIY dan DPRD DIY, sangat disayangkan sekali,” kata Purnomo.

Di satu sisi, Orang Tua dari SMAN 1 Wates, Purnomo Agung mengakui bahwa pihaknya memang belum mempelajari Raperda tersebut secara detail namun ia sempat berdiskusi dengan pihak Dinas Pendidikan DIY. Diakuinya memang terdapat hal positifnya dari Raperda itu sebut saja seperti adanya pengawasan, adanya larangan yang positif dan juga melarang untuk melakukan hal-hal yang melanggar aturan.

Namun, terdapat poin dari Raperda tersebut yang ia tidak setuju yaitu memperbolehkan untuk melakukan sebuah pungutan dengan nominal maksimal sekitar Rp1.100.000. Artinya, hal berupa pungutan itu jelas dilarang dalam PP dan Undang-Undang dan yang semestinya diperbolehkan adalah hanya sumbangan dan bantuan.

“Artinya, pertama itu kan secara hukum kan ga boleh dan yang kedua adalah ketika dilarang saja dengan kondisi sekarang, pihak sekolah sudah melakukan pungutan. Dan anehnya lagi, institusi seperti Dinas Pendidikan, Dikmen maupun Inspektorat Daerah (Irda) kok sampai gat ahu persoalan ini kan kebangetan,” terangnya.

Ditambahkan Purnomo, jika mereka membutuhkan bukti dalam bentuk kuitansi hasil pungutan, pihaknya siap membeberkan semua. Namun, konsekuensinya harus memberikan sanksi tegas kepada pihak sekolah yang melakukan hal negatif itu.

“Ya percuma toh saya siap memberikan bukti dan bersaksi kalau mereka ga memberikan sanksi tegas kepada pihak sekolah,” tuturnya.

Sebagai contoh saja, dari kasusnya pribadi yang terjadi yaitu tentang uang seragam. Pihaknya telah memberikan sebuah bukti maupun saksi namun hanya sekedar mendengar saja tanpa melihat para institusi pengawasan baik dari Irda dan Dinas Pendidikan melakukan tindakan tegas. 

“Saya sudah memberikan semua bukti dan mereka hanya menjawab memang benar terbukti bahwa pihak sekolah terbukti bersalah dalam pengadaan uang seragam. Tapi kemudian sanksinya hanya dengan memindahkan kepala sekolah,” ujarnya.

“Tapi apakah sebuah pengawasan memang seperti itu? Ketika sudah ada bukti dan saksi baru mereka menindaklanjuti dan mungkin saja setelah viral tersebar di media sosial. Bisa saja kalau ga viral ya ga akan ditindaklanjuti itu,” kata Purnomo. (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow