Presma UWG Malang: Indonesia Timur Bukan Daerah Buangan
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) RI di tanggal 14 Februari 2024, salah satu agenda yang menyita perhatian masyarakat adalah Debat Capres dan Cawapres. Berbagai isu dan tema dilemparkan baik kepada…
TIMESINDONESIA, MALANG – Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) RI di tanggal 14 Februari 2024, salah satu agenda yang menyita perhatian masyarakat adalah Debat Capres dan Cawapres. Berbagai isu dan tema dilemparkan baik kepada capres maupun cawapres.
Debat terakhir yang menghadirkan Capres Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo mengambil tema “Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia dan Inklusi.”
Rupanya minat masyarakat semakin besar, selain karena itu adalah rangkaian debat capres-cawapres terakhir, juga karena tema yang diusung amat luas dan menjadi concern banyak pihak di Indonesia. Diadakan pada 4 Februari 2024, debat ini disiarkan di berbagai saluran televisi dan media daring. Jagat media sosial pun ikut riuh.
Presiden Mahasiswa (Ketua BEM) Universitas Widyagama Malang, Ali Tiflen, berkesempatan untuk secara aktif menyuarakan aspirasi terkait dengan isu yang diangkat. Ia bersama tokoh-tokoh mahasiswa se-Malang Raya yang kebetulan juga sesama perantau, yakni La Rian Hidayat (Ketum HMI Cabang Malang), Laskha Shakiera (Wakil PMII Komisariat Sunan Ampel Malang), Doroteus Hartono (Ketum PMKRI Malang), dan Wakil GMNI Kota Malang. Dengan panduan moderator Sudarmaji, mereka berdiskusi mengomentari Debat Capres yang disiarkan channel YouTube Times TV, milik media TIMES Indonesia.
Mengutarakan keresahannya, Ali berkaca pada pengalaman hidup sebagai putra asli Maluku. Ia, sebagaimana rekan-rekan narasumber lain, harus merantau ke Jawa untuk mendapatkan akses pendidikan tinggi. Sementara itu, lingkungan sekitar lebih banyak mengarahkan untuk kerja selepas usai SMA/SMK.
Kondisi itu dibarengi dengan minimnya infrastruktur, SDM dan sistem. “Dari segi SDM, seringkali terjadi ASN atau personel yang bermasalah kemudian “dibuang” ke Indonesia Timur. Hasilnya, tertancap pola pikir yang mengurangi semangat guru atau dosen yang dimutasi. Janganlah kami di Maluku mendapatkan guru dengan kualitas dan komitmen rendah. Selain itu, kurikulum terus berubah, yang perguruan tinggi dan sekolah di Jawa bisa ikuti," jelasnya.
Ia juga menambahkan sarana prasarana termasuk internet lebih mudah dan murah diakses. Sementara, di luar Jawa, hal itu sulit diikuti. Bisa jadi di Jawa sudah diaplikasikan 2-3 perubahan, tapi di luar Jawa hanya bisa terus menyesuaikan, sehingga kami tak sempat merasakan pendidikan yang sebenarnya itu seperti apa,” urai mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro ini.
Satu kalimat cukup tajam dilontarkan mahasiswa tingkat akhir itu. “Indonesia Timur bukan daerah buangan,” tegas Ali. Artinya, capres-cawapres yang kelak ditetapkan sebagai Presiden dan Wapres RI diminta untuk memperlakukan pulau-pulau Indonesia Timur sama halnya seperti Jawa. Hal ini untuk mencapai kesejahteraan sosial, sesuai Pancasila. (*)
Apa Reaksi Anda?