Kupas Fenomena Klitih, Advokat Iwan Setiawan Raih Gelar Doktor
Fenomena klitih di Yogyakarta menarik perhatian seorang advokat Dr H PK Iwan Setiawan SH MH. ... ...
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Fenomena klitih di Yogyakarta menarik perhatian seorang advokat Dr H PK Iwan Setiawan SH MH. Ketertarikan terhadap fenomena kenakalan remaja itu dikupas dalam karya disertasi untuk meraih gelar doktor saat sedang menempuh studi S3 di Universitas 17 Agustus Semarang.
Disertasinya berjudul Pelaksanaan Sanksi Pidana Pelatihan Kerja Bagi Narapidana Anak yang Berkeadilan. Dalam disertasinya, Iwan yang merupakan seorang mualaf mengupas tuntas tentang praktik peradilan terhadap kasus klitih di Yogyakarta. Saat mengerjakan disertasi tersebut, Iwan kerap beradu argumen dengan promotor dan co-promotor.
Beda pendapat itu terjadi karena Iwan memang memiliki banyak pengalaman dengan para pelaku klitih. Pengalaman pribadi itu ia dapatkan karena kerap diminta para keluarga pelaku klitih untuk mendampingi pelaku klitih ketika menjalani proses penyidikan dan menjalani persidangan di pengadilan.
“Saya memang memiliki pandangan berbeda terhadap kasus klitik. Punya pandangan lain menyikapi kasus klitih, pandangan hukum,” terang Iwan.
Pandangan berbeda itu muncul karena ia menilai sebagian besar mereka yang terlihat dalam kasus klitih umumnya adalah berusia anak-anak dan pengangguran.
“Pada tahun 2018 saya menjadi pengacara pelaku klitih. Saat itu, saya di hujat bahkan di bully habis-habisan oleh netizen. Termasuk angggota group medsos yang paling besar di DIY. Mereka mempertanyakan kenapa pelaku klitih kok dibela,” tutur Iwan.
Tak hanya itu saja. Saat menyelenggarakan seminar maupun ujian distertasi pada 2022, Iwan juga dikatakan sebagai penolak hukuman bagi anak-anak. “Namun itulah yang menjadi embrio dan menguatkan tekat saya untuk mencapai gelar doktor,” tandas Iwan.
Dengan tegas, Iwan menyebutkan sebetulnya dia tidak menolak hukuman bagi anak-anak. Hanya, ia menginginkan bentuk hukuman yang dikenakan bagi anak-anak harus berbeda dari layaknya hukuman yang dikenakan bagi orang dewasa.
“Perlu digarisbawahi dalam sistem peradilan pidana anak disebutkan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana,” terang Iwan.
Dalam distertasi itu, Iwan mengupas Pasal 71 UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur jenis-jenis hukuman bagi anak.
Menurutnya, dalam pasal itu secara gamblang sudah disebutkan sanksi pidana bagi anak-anak. Sanksinya adalah pidana pokok seperti peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga hingga penjara.
Sedangkan pidana tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.
“Pelatihan kerja jelas disebut dalam Pasal 71 UU SPPA tersebut. Nah, itu yang saya kuatkan. Karena selama ini belum ada putusan majelis hakim yang menghukum anak dengan pelatihan kerja,” ungkapnya.
Ironisnya, saat ini anak-anak di hukum sama dengan orang dewasa. Hanya, sanksinya yang berbeda. Ia mencontohkan, hukuman orang dewasa dua puluh tahun, maka yang untuk anak-anak adalah separonya.
Ia berharap sebagai naskah akademis hasil pemikirannya tersebut dapat dipergunakan oleh pengambil kebijakan. Sehingga kedepan dapat sebagai acuan dalam menjatuhkan sangsi ketika ada anak-anak yang bermasalah dengan hukum.
Ia mengingatkan, dirinya bukan tidak setuju anak-anak mendapatkan hukuman. Namun, berbentuk sanksi yang mendidik, yang bermanfaat bagi napi anak kelak di kehidupan yang akan datang.
Iwan kembali mengulang suasana berdebat sengit dengan promotor dan ko-promotornya saat mempertahankan argumen dalam disertasinya tersebut. Bahkan, ia sempat mencontohkan sanksi yang ia timpakan kepada anaknya sendiri ketika diketahui berbuat salah.
“Contohnya, ketika anak saya salah, tetap akan saya hukum. Tetapi, hukumannya saya suruh puasa, solat atau hukuman positif yang lainnya,” ujar Iwan.
Hingga akhirnya, Iwan di bimbing oleh promotor dan ko-promotor untuk mengacu pada UU SPPA. Ia juga membandingkan hasil disertasinya tersebut dengan penerapan hukuman pelatihan kerja yang telah berjalan di luar negeri. Hasilnya, tidak ada anak bermasalah yang mengulangi perbuatannya melawan hukum.
Salahsatu studi kasus yang ia teliti adalah perkara di Palembang. Namun. Menurut Iwan, putusan dalam perkara tersebut rancu. Saat itu, terdakwa di PN Palembang hanya di hukum satu bulan dan ada pula yang dihukum dua bulan. Sedangkan dalam UU disebutkan bahwa sistem pelatihan kerja itu minimal tiga bulan.
Iwan mengungkapkan, sanksi pidana pelatihan kerja di Indonesia memang masih terdengar asing. Sebab, di sini sanksi pidana sepertinya masih beraliran klasik, sifatnya pembalasan. Menurut Iwan, disertasinya tersebut mengembangkan Restorative Justise (RJ).
“Apalagi salah satu substansi yang mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,” tegas Iwan.
Advokat Iwan Setiawan berharap disertasi karyanya yang mengupas tentang kasus klitih dapat memberikan acuan bagi pemerintah dan legal untuk membuat aturan pendukung UU SPPA. (*)
Apa Reaksi Anda?