Kala Teater Makassar dan Perbincangan Seni Silang Media di Lombok
Apresiasi penonton teater di Mataram cukup bagus dan begitu antusias saat menyaksikan pementasan Kala Teater Makassar yang bekerjasama dengan SFNLabs Mataram di program P ...
TIMESINDONESIA, LOMBOK – Apresiasi penonton teater di Mataram cukup bagus dan begitu antusias saat menyaksikan pementasan Kala Teater Makassar yang bekerjasama dengan SFNLabs Mataram di program Platform Teater Eksperimental dan Kontemporer Lombok.
Pertunjukan itu berlangsung kemarin, tanggal 24 Juli 2023, Pukul 19.30 WITA, di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya NTB. Shinta Febriany bekerja sebagai penulis dan sekaligus yang menyutradarai pertunjukan Suara-Suara Gelap dari Ruang Dapur. Sejak tahun 2015 hingga 2023, Shinta cenderung mengerjakan projek Kota dalam Teater, yakni projek pembacaan isu-isu kota berdasarkan riset terhadap masalah yang tengah dihadapi oleh warga kota.
Apabila kita merujuk Daniel Palmer, akademisi di RMIT University menyebut postmodernisme dapat menjadi proyek kritis, seperti mengungkapkan konstruksi budaya yang dianggap sebagai suatu kebenaran dan membuka berbagai sejarah modernitas yang tertindas, seperti sejarah perempuan, homoseksual, dan kaum terjajah.
Kriteria modernisme itu sendiri, kata Daniel terungkap sebagai hal yang bersifat patriarkis dan berbau rasisme. Itulah mengapa salah satu tema yang paling umum dibahas dalam postmodernisme yang banyak berkaitan dengan identitas kebudayaan masyarakat tertentu.
Nah, Suara-suara Gelap dari Ruang Dapur yang dibawakan oleh kelompok Kala Teater Makassar ini mencoba mengkritisi persoalan masyarakat kota yang terjadi di Makassar.
Shinta membuka ruang tafsir yang cukup terang dengan kacamata posmodern, atau dalam teater istilahnya kerap disebut sebagai postdramatik. Garapan Shinta dilakukan dengan model silang media baru. Bentuk garapan silang media ini sedang banyak digandrungi oleh kelompok teater di tanah air, termasuk di NTB.
Lantas apa itu silang media?
Beberapa bulan lalu di awal tahun 2023 ini di sebuah warung kopi Warjeck Taman Budaya NTB, saya sempat ikut nimbrung dan berbincang dengan Yudi Ahmad Tajuddin, ketua suku di Teater Garasi yang banyak mementaskan model penggarapan silang media.
Menurut Yudi, kekuatan penggarapan teater model silang media itu bukan terletak pada naskah lakon yang utuh atau yang sudah jadi. Akan tetapi lebih pada proses penggarapannya yang bermula dari perancangan ide atau alas pijak konsep yang kemudian berbentuk visual atau pemanggungan gagasan. Setelah itu diperkuat dengan narasi.
Narasi dibangun dari catatan saat proses berlangsung dan pengarsipan suatu bentuk ide yang ditemukan di dalam latihan. Catatan atau pengarsipan konsep itulah yang dikembangkan, sehingga menjadi peristiwa pertunjukan.
Saat diskusi, Yudi pun sempat mengakui jika apa yang dicobanya di penggarapan Teater Garasi bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi sebagai model penggarapan teater antitesis dari aliran modernisme. Postdramatik banyak terpengaruh pada seni rupa atau pada seni arsitektur.
Namun, lagi-lagi Daniel mengingatkan, sama halnya seperti tentang modernisme. Postmodernisme juga tidak menunjuk pada satu gaya seni atau budaya. Sebaliknya, postmodernisme seringkali dikaitkan dengan pluralisme dan pengabaian gagasan konvensional tentang orisinalitas dan kepengarangan demi imitasi sebuah gaya yang mati atau konstan dan tak berkembang.
Tak cukup puas dengan uraiannya Daniel di salah satu esainya yang berjudul Apa Itu Postmodernisme itu, saya pun bertanya langsung kepada Taufik Mawardi yang bergiat di komunitas Kampoeng Baca Pelangi, Narmada. Opik biasa saya memangil namanya. Dia ikut berpartisipasi dalam workshop rangkaian acara Festival Komunitas Seni Media 2023 yang akan dilaksanakan di Mataram.
Opik juga pernah tercatat sebagai salah satu awardee LPDP di Fakultas Muzik dan Seni Persembahan Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), Perak Malaysia. Menurut Opik, silang media itu seperti sebuah pohon yang di cabangnya ditempeli tanaman lain dan memungkinkan akan menghasilkan jenis pepohonan baru.
Silang media ini seperti menempel tanaman. Itu kemudian banyak dipakai, karena model eksperimennya bagus. Misalnya tanaman A+B menjadi tanaman C. Tanaman C menjadi sesuatu yang baru, tetapi tetap ada unsur A dan B.
Namun demikian, kita tidak pernah tahu jika C ini akan jadi seperti apa kalau tidak kita coba untuk mengeksplorasi kemungkinan bentuknya. Begitu pula dunia pertunjukan saat disilang dengan media yang lain. Akan terjadi ketimpangan atau bahkan menjadi bentuk yang tak utuh apabila salah satu unsurnya ditiadakan.
***
*) Oleh: Harianto, Pegiat LESBUMI PWNU NTB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Apa Reaksi Anda?