Kanker Prostat Sering Terjadi Pada Pria Usia 60 Tahun ke Atas

Kanker prostat merupakan kanker kedua yang paling banyak terjadi pada pria di dunia. Kanker prostat lebih sering terjadi pada pria usia 60 tahun ke atas.

September 7, 2023 - 16:50
Kanker Prostat Sering Terjadi Pada Pria Usia 60 Tahun ke Atas

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kanker prostat merupakan kanker kedua yang paling banyak terjadi pada pria di dunia. Kanker prostat lebih sering terjadi pada pria usia 60 tahun ke atas. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, risiko kanker prostat semakin tinggi saat ini banyak kasus kanker prostat yang terjadi pada pria dengan usia lebih muda, dibawah 40 tahun. The American Cancer Society’s memperkirakan terdapat sekitar 288.300 kasus kanker prostat baru dan sekitar 34.700 kematian disebabkan oleh kanker prostat di Amerika pada tahun 2023. Di Indonesia, Global Cancer Statistics menunjukkan bahwa kanker prostat adalah kanker kelima yang paling umum terjadi pada pria, dengan jumlah kasus baru sebanyak 13.563 pada tahun 2020. Sebanyak 70% pria yang terdiagnosa dengan kanker prostat baru mencari pengobatan medis ketika sudah terlambat. Oleh karena itu, deteksi dini kanker prostat sangat diperlukan untuk pria dimulai pada usia 40 tahun.

RS Grha Kedoya (RSGK) sebagai salah satu rumah sakit swasta yang berlokasi di Jakarta Barat,  berusaha mewujudkan visinya menjadi Rumah Sakit Swasta terfavorit di Jakarta dengan selalu melakukan terobosan-terobosan baru di bidang pelayanan medis. Saat ini RS Grha Kedoya kembali menyuguhkan pemeriksaan Prostate Health Index (PHI) yang merupakan salah satu pemeriksaan darah baru yang baru dikerjakan langsung di Indonesia, bersifat non-invasive dengan kemampuan 2.5 kali lebih spesifik dalam mendeteksi adanya kanker prostat, dibandingkan dengan pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) pemeriksaan PHI yang selama ini dilakukan terbukti menurunkan keperluan biopsi prostat yang bersifat invasif.

Prostate Specific Antigen (PSA) adalah jenis pemeriksaan darah yang mengukur level antigen ( ) untuk mendeteksi secara dini kanker prostat yang paling sering digunakan saat ini di Indonesia. Sel kanker cenderung memproduksi PSA lebih banyak, sehingga pada pasien dengan kanker prostat terdapat lonjakan level PSA ketika pemeriksaan dilakukan. Namun, penggunaan PSA sebagai skrining seringkali menyebabkan over-diagnosis dan meningkatkan biopsi yang tidak perlu. Hal ini disebabkan karena beberapa penyakit juga meningkatkan kadar PSA selain kanker, antara lain Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), inflamasi, faktor usia, dan penggunaan obat-obatan tertentu.  

Keputusan biopsi pada pasien dengan kriteria klinis mengarah pada kanker prostat tidaklah mudah. Lebih dari dua pertiga pria dengan hasil pemeriksaan rektal digital tanpa kelainan dan hasil tPSA berkisar 4 sampai 10 ng/mL, memberikan hasil bukan kanker. Sedangkan, tindakan biopsi sendiri merupakan tindakan invasif yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien seperti perdarahan, nyeri dan infeksi.

Prostate Health Index (PHI) merupakan pemeriksaan kombinasi dari tiga hasil kuantitatif pemeriksaan total PSA (tPSA), free PSA (fPSA), dan [-2]proPSA (p2PSA) yang diterjemahkan ke dalam suatu skor numerik tunggal (phi score): (p2PSA/fPSA x ÖtPSA). Pemeriksaan Prostate Health Index (phi) telah diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) sejak tahun 2012 sebagai pemeriksaan yang bertujuan untuk membedakan kanker prostat dengan kondisi pembesaran prostat jinak lainnya pada pasien-pasien pria yang hasil pemeriksaan rektal digitalnya tidak menunjukkan kelainan dan hasil serum tPSA berkisar 4 sampai 10 ng/mL. Kini, pasien dan dokter memiliki pilihan baru yang non-invasif untuk mendiagnosa kanker prostat lebih efektif dan lebih efisien hal ini menggambarkan kemajuan sains dalam manajemen kanker prostat yang membuat deteksi dini kanker prostat lebih akurat, membuat kenyamanan PSA yang lebih baik dengan pemeriksaan non-invasif dan sekarang sudah dapat diperiksa di Indonesia tanpa harus mengirimkan sampel ke luar negeri.

Dr. Johanes W. Sulistyo, Sp.U dokter spesialis Urologi RS Grha Kedoya menyampaikan, “Mendengar kata biopsi bagi pasien sangat menakutkan, biopsi sendiri merupakan suatu prosedur medis untuk mengangkat sampel jaringan tubuh lalu diamati di bawah mikroskop. Sampai saat ini biopsi prostat masih menjadi teknik diagnostik (gold standard) dalam mendeteksi kanker prostat. Biopsi prostat dilakukan jika didapatkan tiga indikasi umum, yaitu: kelainan pada pemeriksaan rektal digital, peningkatan kadar PSA, dan kecurigaan klinis kanker prostat. Sebelumnya, selain pemeriksaan rektal digital dan klinis, kami merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai pilihan pertama yang non-invasif untuk skrining kanker prostat, namun PSA memiliki spesifisitas yang terbatas dalam mendeteksi kanker prostat yang menyebabkan biopsi yang tidak perlu untuk hasil positif palsu dari beberapa kasus tumor. Melalui pemeriksaan Prostate Health Index ini, diharapkan dapat memberi angin segar kepada pasien dan juga kami sebagai dokter klinisi terutama pada pasien dengan hasil skrining PSA total berada di angka 4-10 ng/mL.”

Prof. Dr. dr. Tonny Loho, DMM, SpPK(K) dokter spesialis Patologi Klinik RS Grha Kedoya menjelaskan dari sisi laboratorium bahwa pemeriksaan Prostate Health Index tetap menggunakan hasil dari PSA Total, free PSA, dan satu isoform baru dari PSA, yaitu [-2]proPSA atau dikenal dengan p2PSA, dimana ketiganya dikombinasikan dalam suatu formula baru untuk menghasilkan skor tunggal yang dapat digunakan sebagai bantuan dalam penentuan keputusan klinis. “Rumus dari PHI ini adalah ([-2]proPSA/freePSA)xÖPSA, pria dengan hasil PSA total dan p2PSA tinggi, serta hasil free PSA rendah akan cenderung memiliki risiko kanker prostat lebih besar”, tutur Prof. Tonny.

Prof. Tonny juga menambahkan ,“Pemeriksaan p2PSA tidak memerlukan persiapan pasien khusus namun sangat direkomendasikan dilakukan sebelum adanya manipulasi prostat seperti pemeriksaan rektal digital (digital rectal examination), pijat prostat, transrectal ultrasound (TRUS), biopsi prostat, dan juga biopsi jarum transrektal. Hal ini dikarenakan, manipulasi prostat dapat menyebabkan peningkatan sementara dari kadar p2PSA, freePSA, dan PSA total. Pasien membutuhkan periode tunggu 6 minggu sejak dilakukan manipulasi prostat sampai pengambilan sampel p2PSA. Sampel yang digunakan berupa darah serum dengan volume minimal 3.5 mL.”

Pemeriksaan p2PSA tidak dapat berdiri sendiri dalam manajemen pasien, konsentrasi PSA total, freePSA, dan p2PSA harus diperiksa secara bersamaan dari serum yang sama untuk menghasilkan skor Prostate Health Index yang secara otomatis dihitung oleh sistem Immunoassay. Semakin besar angka PHI semakin tinggi risiko pasien terkena kanker prostat.

Dr. Henry Andrean, MHS (HA), MARS, Direktur RS Grha Kedoya menjelaskan bahwa Rumah Sakit Grha Kedoya selalu melakukan inovasi di bidang pelayanan medis. Kesadaran kesehatan pria masih kurang tersorot, dibandingkan isu kesehatan wanita dan anak. Kita bersama-sama perlu memahami dan meningkatkan kesadaran terhadap bahayanya kanker prostat, untuk suami, ayah, kakek, dan bahkan kelompok generasi muda. Banyak kasus kanker prostat yang tidak bergejala, terutama selama stadium awal. Karena sulitnya deteksi dini berdasarkan gejala atau keluhan yang dialami. Penting bagi setiap pria untuk mengerti bahwa menemukan kanker prostat sedini mungkin, dapat secara signifikan membantu mereka mendapatkan pengobatan dan hasil yang lebih baik.

Prostat Health Index (PHI) sudah mendapat persetujuan FDA sejak tahun 2012, dan baru sekarang ini pemeriksaan PHI dapat langsung diperiksa di Indonesia hadir di RSGK tanpa harus mengirim sampel keluar negeri. “PHI dapat menjadi pilihan bagi pasien, karena bersifat non-invasif dan memiliki spesifisitas lebih baik dalam mendeteksi adanya kanker prostat. Deteksi lebih dini dan lebih akurat membuat Tatalaksana pasien juga akan lebih terarah dan memberikan hasil yang lebih baik”, tutur dr. Henry.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow