Peringati Hari Pers Sedunia, HIMANIKA UB Diskusi Mengenai Perlindungan Pers Mahasiswa

Dalam rangka memperingati hari pers sedunia yang jatuh pada hari Rabu, (3/5/2023) kemarin, Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMANIKA) Universitas Brawijaya (UB) ...

Mei 6, 2023 - 03:40
Peringati Hari Pers Sedunia, HIMANIKA UB Diskusi Mengenai Perlindungan Pers Mahasiswa

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam rangka memperingati hari pers sedunia yang jatuh pada hari Rabu, (3/5/2023) kemarin, Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMANIKA) Universitas Brawijaya (UB) mengadakan kajian diskusi berjudul “Communication Research and Development” dengan mengusung tema “Gawat Perlindungan Pers Mahasiswa”, Jumat (5/5/2023). 

Kajian diskusi tersebut dilaksanakan di Auditorium Nuswantara, Gedung B Lantai 7 FISIP UB. 

Hadir sebagai narasumber sekaligus pemantik dalam diskusi tersebut Dosen Ilmu Komunikasi UB Arif Budi Prasetya, jurnalis senior Tempo Abdi Purnomo, perwakilan PPMI Kota Malang Ihsanul Mukminin, dan dimoderatori oleh perwakilan dari Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa UB Oyuk Ivani.

pers-mahasiswa.jpgKetua dan wakil ketua Himanika UB turut memberikan tanggapannya dalam diskusi perlindungan pers mahasiswa, Jumat (5/5/2023), (FOTO: Andi Yusuf Saefullah Nugraha/TIMES Indonesia)

Dalam diskusi tersebut Arif Budi Prasetya menyampaikan bahwa pers mahasiswa menjadi salah satu pilar dalam demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Meskipun dalam lingkup kampus kerja jurnalistik pers mahasiswa tidak jauh berbeda dengan pers secara profesional hanya wilayahnya saja yang membedakan. 

“Dua-duanya memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi yang sama. Hanya objeknya saja yang tergantung dari pers tersebut berdomisili sehingga dapat dikatakan pers mahasiswa sebagai pilar ke-4 demokrasi yang berangkat dari kampus”, ujar Arif Budi Prasetya.

Arif juga menambahkan bahwa ia setuju dengan statement mengenai pers mahasiswa yang masih dianggap sebagai unit aktivitas mahasiswa bukan sebagai corong opini masyarakat.

Meskipun mereka bergerak di wilayah kampus, mereka juga berhak memperoleh perlindungan hukum karena mereka juga bergerak di bidang jurnalistik. 

Melalui cerita dalam pengalamannya, Arif merasa bahwa memang benar jika perlu adanya kebijakan yang mengatur pers mahasiswa

“Saya pernah berada di posisi rekan-rekan semuanya. Saya pernah bikin buletin dan saya dipanggil oleh pihak kampus karena dinilai buletin saya terlalu kritis. Di situ saya merasa bahwa memang harus diatur, karena bagaimanapun mereka juga berhak dilindungi oleh undang-undang”, tambahnya.

Sebagai akademisi yang bergerak di bidang media massa, Arif Budi Prasetya juga memberikan tiga gambaran solusi yang dapat ditawarkan. Pertama, dewan Pers dapat melakukan kajian terhadap Undang-undang Pers sekaligus menjalin kerja sama dengan Perguruan Tinggi.

Kedua, melakukan pengawasan terhadap aktivitas kampus dan juga pers kampus agar terjadi keberimbangan pemberitaan sekaligus menciptakan iklim demokrasi pers yang efektif.

Ketiga, perlu dibentuk lembaga perlindungan pers mahasiswa yang bertugas dan berfungsi melakukan pengawasan serta perlindungan.

Berbeda dengan Dosen Ilmu Komunikasi tersebut, Ihsanul Mukminin justru mengungkapkan bahwa kerap kali pers mahasiswa melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah dan kode etik dalam jurnalistik. 

Ia menilai ketidaktahuan seorang jurnalis dapat menjadi sebuah musibah bagi dirinya sendiri. Ia juga menilai bahwa siapapun dapat menjadi jurnalis yang baik dengan cara banyak membaca.

Selain itu, berjejaring dan menyerap pengalaman orang lain juga perlu dilakukan sebagai sarana memperoleh ilmu.

Tidak hanya itu, menurutnya kerendahhatian seorang jurnalis juga tidak boleh dilupakan agar dapat menjaga jejaring yang telah diperoleh.

“Dalam buku agama saya adalah jurnalisme, yang diperlukan oleh pers mahasiswa itu hanya pendidikan dan kepelatihan. Di sini pendidikan dapat diperoleh melalui LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) dan membaca”, ujar Ihsanul Mukminin dalam kajian diskusi tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan Ihsan, Abdi Purnomo juga menilai bahwa sebenarnya tidak perlu menilai lemahnya Undang-undang 40 tahun 1999 dalam melindungi pers mahasiswa menjadi sebuah hal yang gawat. Ia justru menanggapi bahwa seringkali pers mahasiswa tidak memiliki standing position yang jelas. 

“Cara kita bersikap dalam berperan menjadi pers mahasiswa mesti didefinisikan ulang. Posisi seperti apa yang ingin diambil”, ujar Abdi Purnomo yang juga menjabat sebagai Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) AJI Indonesia

Abdi Purnomo juga menambahkan bahwa peran yang akan diambil menentukan bagaimana arah dari pers mahasiswa.

“Karena peran itu yang akan menentukan cara kita berpikir dan memandang sebagai warga kampus. Coba deh posisi seperti apa yang akan dimainkan sebagai pers mahasiswa”, tambahnya.

Mewakili ketua HIMANIKA UB, Muhammad Mufti berharap agar kajian diskusi ini dapat menginformasi rekan-rekan mahasiswa mengenai kebebasan dan perlindungan pers. Ia juga berharap rekan-rekan mahasiswa dapat terdorong agar menjadi mahasiswa yang sadar dengan isu-isu aktual.

“Semoga Commreads (Communication Research and Development) hari ini bisa menginformasi teman-teman semua tentang perlindungan pers mahasiswa, dan juga menginspirasi agar kita semua tetap aktif, kreatif, dan progresif”, ujar Muhammad Mufti dalam sambutannya. (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow