Nelayan Desa Penu Ruba di Taliabu Ubah Haluan dari Pencari Ikan Julung ke Telur Ikan Terbang
Kurang dari tiga tahun belakangan ini, hasil penangkapan dari nelayan ikan julung di Desa Penu, Taliabu Timur, Pulau Taliabu merosot jauh. Ribuan karung ikan julung kerin ...
TIMESINDONESIA, PULAU TALIABU – Kurang dari tiga tahun belakangan ini, hasil penangkapan dari nelayan ikan julung di Desa Penu, Taliabu Timur, Pulau Taliabu merosot jauh. Ribuan karung ikan julung kering yang biasanya dikirim ke Sulawesi tak lagi terlihat.
Kondisi ini tidak hanya berdampak bagi nelayan ikan julung, para penadah (bos) ikan julung kering juga harus merubah model mata pencaharian. Tidak ada yang tahu kenapa hasil dari penangkapan ikan julung berkurang drastis.
Telur Ikan terbang yang telah dikeringkan (FOTO: Husen Hamid TIMES Indonesia)
Sebagian nelayan menganggap hal itu akibat banyak nelayan luar yang datang dan menangkap telur ikan di wilayah mereka. Ada juga yang mengatakan ikan julung berkurang karena memag tidak lagi ada populasi ikan julung yang masuk ke perairan Taliabu Timur.
“Kalau empat sampai lima tahun lalu itu hasil sangat banyak. Banyak nelayan yang mendapatkan hasil sampai ratusan dan ribuan pak. Hasil itu dikirim ke Sulawesi, tapi sekarang ini hasil sangat merosot. Hampir setiap musim para juragan (pemberi modal) merugi karena hasil tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan,” ucap salah satu nelayan.
Terlepas dari semua dugaan tersebut, mau dan tidak mau, sejumlah nelayan di Desa Penu harus merubah haluan untuk mencari telur ikan terbang.
Mencari telur ikan terbang, mereka sebut dengan mendulang emas di lautan. Warna telur ikan terbang akan menguning seperti emas saat kering. Karena harga jualnya tinggi, membuat lautan di perairan Desa Penu selalu penuh dengan ratusan nelayan dari Taliabu dan wilayah Sulawesi.
Telur ikan terbang yang telah dikeringkan bisa tembus Rp700.000 per kilo di Desa Penu. Harga ini akan terus naik jika para nelayan bisa menjual langsung ke wilayah Makasar atau Surabaya.
Untuk mengambil telur ikan terbang, nelayan Penu hanya menggunakan alat yang mereka sebut rakit. Rakit menjadi alat untuk mengambil telur ikan, rakit ini terbuat dari batang kayu yang diikat dengan daun kelapa yang telah dikeringkan.
Harga telur ikan yang mahal sudah tentu tidak mudah untuk mendapatkannya. Nelayan harus melepaskan rakit yang telah diikat dengan tali dilaut pada empat mil dari bibir pantai. Usai dilepaskan, rakit harus dibiarkan hingga 5-6 jam sebelum diangkat.
Jika hasil bagus, nelayan akan mendapatkan hingga puluhan kilogram telur ikan terbang dalam sehari, yang jika dijual akan mencapai puluhan juta rupiah.
Hal yang dihadapi nelayan Taliabu adalah banyaknya jumlah perahu dan kapal yang mencapai puluhan hingga ratusan di laut. Sejumlah nelayan di Desa Penu mengeluh karena kalah saing dengan kapal dari wilayah Sulawesi.
Jumlah alat tangkap dan hanya menggunakan longboat saat melaut, nelayan lokal di Taliabu kalah dalam mendapatkan hasil. Mereka berharap Dinas setempat atau Pemda Taliabu dapat mengatur jalur tangkap, atau tidak memberikan ijin kepada kapal yang masuk dari Sulawesi.
Wakil Ketua I DPRD Pulau Taliabu dari partai Demokrat, Taufik Toib Koten sudah beberapa kali mengingatkan Pemerintah daerah dan Dinas terkait untuk tidak tutup mata soal keluhan nelayan di Taliabu, terutama di Taliabu Timur. (*)
Apa Reaksi Anda?