Keseruan Outing Class Matkul HPPA FH UWG Malang, Kupas Santai Hukum KDRT
Kuliah tidak harus di dalam kelas (ruangan), ini yang dilakukan oleh dosen muda dari Fakultas Hukum UWG Malang
TIMESINDONESIA, MALANG – Kuliah tidak harus di dalam kelas (ruangan), ini yang dilakukan oleh dosen muda dari Fakultas Hukum UWG Malang. Namanya Mufidah Ma’sumah SH MH., yang mengajar mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, dengan judul / tema matkul yakni tentang “KDRT” (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dilaksanakan di WCC (Women Crisis Centre) Kota Malang.
Hal itu dilakukan agar mahasiswa FH UWG Malang yang mengambil matkul HPPA, tidak bosan di ruang kelas di Kampus Inovasi UWG saja. Sambal belajar, juga refresing melihat langsung keadaan diluar kampus yakni di kantor WCC Kota Malang dengan mengendarai motor para mahasiswa asyik menuju lokasi.
Bukan itu saja, outing class ini juga menarik menjadi trend sekarang bahwa menjadi mahasiswa UWG Malang harus pandai membaca situasi lingkungan sekitar. Apa yang terjadi di dalam kasus KDRT ini adalah karena adanya kurang komunikasi yang baik, adanya tekanan, kurang refresing sepertinya begitu.
Akhir-akhir ini banyak terjadi KDRT, tidak terkecuali rumah tangga muda yang baru beberapa bulan menjalin hidup berumah tangga, pun mereka yang sudah puluhan tahun berumah tangga juga demikian.
Hal ini ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya KDRT, apa sajakah itu?
Coba kalian jelaskan, atau gambarkan tentang KDRT tersebut….Tanya bu Dosen kepada Mahasiswanya.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) No. 23 tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, yang karenanya tidak layak diungkap ke muka umum.
Maka tidak heran, meski sudan ada UU ini sejak lama, kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari. Terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, UU ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga.
Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, kepedulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja.
Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara. (*)
Apa Reaksi Anda?