Dokter RSU Unmuh Jember Ajak Masyarakat Tak Kucilkan Penderita HIV/AIDS
Jelang peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia pada Jumat (1/12/2023) besok, dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah (RSU Unmuh) Jember
TIMESINDONESIA, JEMBER – Jelang peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia pada Jumat (1/12/2023) besok, dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah (RSU Unmuh) Jember menegaskan jika Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah dua hal berbeda.
Menurutnya HIV adalah virus yang menyebabkan penurunan kekebalan tubuh, sedangkan AIDS adalah kumpulan gejala yang muncul akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
dr. Hana Nadya, Sp. PD, mengidentifikasi beberapa populasi dengan risiko tinggi, termasuk mereka yang melakukan aktivitas seksual berisiko, golongan LGBT, pasangan dari pasien HIV positif, anak dari ibu yang positif HIV, tenaga kesehatan yang memberikan perawatan, dan warga binaan dari lembaga pemasyarakatan.
"Dalam upaya pencegahan, kami menekankan pentingnya menghindari aktivitas seksual berisiko dan berbagi jarum suntik. Pengobatan HIV kini juga dapat diakses secara luas, bahkan di pelosok desa, memastikan pasien mendapatkan perawatan yang efektif," paparnya.
Selain itu, dr. Hana membantah stigma yang melekat pada HIV/AIDS sebagai penyakit yang pasti mematikan. Menurutnya, dengan deteksi dini dan pengobatan yang efektif, bisa membuat penderita HIV dapat menjalani hidup secara stabil.
"Virus HIV masuk ke dalam tubuh penderita, maka dia membutuhkan periode waktu sekitar 2 atau 4 minggu sebelum terjadinya infeksi akut, periode itu dinamakan dengan masa inkubasi," jelasnya merinci perjalanan penyakit dari masa inkubasi hingga tahap AIDS.
Lebih lanjut, ketika sudah memasuki tahap infeksi akut atau tahap pertama, pasien akan mengeluhkan gejala seperti demam, nyeri kepala, nyeri sendi, ruam-ruam di kulit, dan juga ada perasaan tidak enak badan seperti penyakit flu pada umumnya.
Setelah itu, penyakit akan memasuki tahap infeksi kronis atau tahap kedua. Tahap penyakit infeksi kronis ini berlangsung cukup lama, ada yang 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan lebih.
“Tetapi gejala seperti infeksi akut sudah mereda, sehingga biasanya pasien tidak memeriksakan diri ke fasilitas. Pada tahap infeksi kronis inilah, virus HIV memperbanyak diri atau mereplikasi diri sehingga jumlahnya semakin banyak. Dan pada tahap inilah, proses kekebalan tubuh sudah mulai akan diganggu," tekannya.
Guna menanggulangi stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV, dr. Hana mengajak masyarakat untuk melihat penyakitnya, bukan orangnya. Dirinya menegaskan bahwa HIV tidak menular melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan atau bertukar alat makan, sehingga tidak ada alasan untuk mengucilkan atau menjauhi penderita.
“Untuk menghadapi penderita HIV/AIDS, yang perlu dipahami, bahwa infeksi virus HIV menular melalui kontak darah dan juga kontak seksual, tetapi tidak menular melalui berjabat tangan, menyentuh pasien, ataupun bertukar alat makan dengan pasien, sehingga kita tidak perlu memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap pasien HIV, Konsep yang perlu dipegang adalah jauhi penyakitnya, bukan orangnya,” tegasnya.
Kendati demikian, dirinya mengajak seluruh lapisan masyarakat, terutama yang merasa memiliki risiko tinggi, untuk melakukan pemeriksaan disarana kesehatan terdekat.
Dokter spesialis penyakit dalam RSU Unmuh Jember tersebut juga menginformasikan bahwa pihak pemerintah sudah melakukan program screening sebesar-besarnya, dengan cara melakukan screening pada setiap pasien ibu hamil, pasien tuberkolosis, pasien hepatitis B/C.
“Segera lakukan pemeriksaan di sarana kesehatan terdekat untuk deteksi dan pengobatan dini HIV, karena pentingnya deteksi dini dan pengobatan untuk memastikan kualitas hidup yang baik bagi penderita HIV,” tutupnya. (*)
Apa Reaksi Anda?