Bedah Buku Aldera, Andi Harun Minta Generasi Muda Tingkatkan Kualitas Demokrasi
Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) merupakan salah satu organisasi gerakan kaum muda anti-otoritarian, yang merupakan salah satu gerakan penentang rezim Orde Baru pada awa ...
TIMESINDONESIA, SAMARINDA – Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) merupakan salah satu organisasi gerakan kaum muda anti-otoritarian, yang merupakan salah satu gerakan penentang rezim Orde Baru pada awal 1990-an.
Kemunculan Aldera pada awal 1993 menarik perhatian publik melalui sebuah aksi yang menuntut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) agar tidak mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden.
“Aldera memainkan peran penting dalam melawan rezim, dengan bergabung bersama rakyat dalam membangun gerakan perlawanan atas perampasan tanah di Jawa Barat. Itulah awal mula bangkitnya Aldera,” ujar Ketua PC IMM Samarinda, Banu, kepada TIMES, Selasa (13/6/23).
Ia menceritakan Wali Kota Samarinda Andi Harun memberikan pandangannya saat bedah buku Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 di GOR 27 September Universitas Mulawarman (Unmul) beberapa waktu lalu.
Buku Aldera secara garis besar menceritakan sejarah Aliansi Gerakan Rakyat yang terbentuk pada tahun 1993 bersama kelompok aksi, studi, hingga pers mahasiswa yang memberikan perlawanan terhadap rezim orde baru. Perjuangan Pius dan rekan-rekannya terekam dalam sebuah buku berjudul Aldera ini perlu diketahui oleh banyak kalangan, terutama mahasiswa yang diharapkan dapat menjadi generasi penerus di dalam melanjutkan ide-ide maupun gagasan yang telah diperjuangkan pada masa reformasi.
Wali Kota Samarinda Andi Harun menyimak bedah buku Aldera. (Foto: Diskominfo Samarinda for TIMES Indonesia)
Aldera adalah tulisan yang digagas dari Anggota VI Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI), Pius Lustrilanang. Tim Penulis buku ini adalah Teddy Wibisana, Nanang Puja Laksana, dan Rahadi T. Wiratama.
Di lain sisi, Wali Kota Samarinda Andi Harun juga memberikan pandangannya terkait isi buku Aldera. Menurutnya buku tersebut menjadi pengingat bagi kita semua mengenai begitu mahalnya harga merah putih, yakni kemerdekaan yang ditempuh melalui perjuangan sehingga hal ini menjadi sebuah kesadaran kolektif agar kita dapat berkontribusi terhadap jalannya bangsa ini.
“Adalah tanggung jawab kita bersama dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas demokrasi bangsa,” kata Andi Harun.
Maka dari itu, lanjut Wali Kota Samarinda, buku ini memberikan gambaran dan menjadi referensi bahan kajian untuk kita, terlebih para akademisi termasuk mahasiswa. Selain berkepentingan dalam menyuarakan hak-hak rakyat, mahasiswa juga harus mengetahui kemana arah jalan demokrasi bangsa ini.
“Apapun pilihan kita, ideologi kiri atau kanan, tolak ukurnya adalah kemakmuran rakyat. Pilihan politik apapun yang bangsa ini pilih, pada intinya rakyat bisa menjadi makmur dan sejahtera,” kata dia.
Wali Kota berharap, mudah-mudahan dengan adanya kajian buku ini bisa membangkitkan semangat intelektual dan kita bisa berada dalam satu frame yang sama, yakni bagaimana kita terus berusaha menciptakan Indonesia yang makmur dan berkeadilan.
Lebih lanjut Andi Harun menyampaikan, pada pergantian rezim Orde Lama menuju Orde Baru yang merupakan buntut dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965. Di mana pada peristiwa itu banyak korban berjatuhan dari kalangan mahasiswa.
“Masuk ke Orde Reformasi, mahasiswa dan aktivis pemuda tidak sedikit menjadi korban. Artinya kita diingatkan tentang mahalnya harga demokrasi, begitu mahalnya harga merah putih di harga republik ini. Inilah kemudian menyadari dan bisa menjadi kesadaran kolektif bangsa,” ungkapnya
Ia berharap kaum millenial saat ini dapat melanjutkan perjuangan Pius dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
“Nah sekarang menjadi diskursus kita mempertahankan demokrasi seperti sekarang, tapi kemudian ekonomi kita tidak demokratis,” tuturnya.
Terakhir, kata Andi Harun, apapun pilihannya maka pola ukurnya kemakmuran rakyat. “Mudah-mudahan dengan kajian buku ini bisa membangkitkan semangat intelektual kita dan kemudian kita sama-sama berada dalam satu frame, bagaimana kita berusaha menciptakan indonesia ini menjadi bangsa ini adil dan makmur,” tutupnya
Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman yang juga memberikan pandangannya terkait dengan diselenggarakannya acara bedah buku Aldera.
“Buku ini menjadi pengingat akan tahapan-tahapan peristiwa yang terjadi. Ini berarti menjadi pemantik bagi kita untuk menyuarakan dan menegakkan demokrasi agar terus berjalan dengan semestinya. Tetapi memang, dalam proses menghadapinya tidak ada sesuatu yang berjalan dengan baik tanpa ada tantangan dan hambatan,” ucap Ardiansyah Sulaiman.
Herdiansyah dalam diskusinya bersama ratusan mahasiswa menjelaskan bahwa menjadi mahasiswa artinya memiliki peran untuk mentransmisikan ilmu yang mereka dapat kepada publik.
“Jangan seolah olah mempunyai mata tetapi tidak bisa melihat, atau mempunyai mulut tetapi tidak bisa berbicara. Terlepas dari itu, buta terburuk adalah buta politik. Tidak ada cara menghindari politik kecuali dengan mengendalikannya menjadi politik yang bermartabat bagi masyarakat Indonesia.” Tuturnya.
Sedangkan Sri Murlianti menyampaikan, seharusnya tidak ada orang miskin jika kita merefleksikan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
"Jangan sampai demokrasi kita adalah refleksi reformasi semasa dua dekade yaitu demokrasi putar balik,” kata Sri Murlianti dalam bedah buku Aldera ini. (*)
Apa Reaksi Anda?