Andil Besar Banyuwangi untuk Kedaulatan NKRI, Kisah Dibalik Agresi Militer I Belanda
Ternyata masyarakat Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, memiliki andil besar untuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ...
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Ternyata masyarakat Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, memiliki andil besar untuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Direntang tahun 1946-1947, ketika agresi militer Belanda I, komoditi beras yang dihasilkan masyarakat petani Bumi Blambangan, dikirim ke India sebagai bantuan.
Kala itu, India sedang dilanda kelaparan. Dan berkat diplomasi beras Banyuwangi tersebut, India melalui Perdana Menteri, Jawaharlal Nehru, menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Pengakuan yang disampaikan pada 2 September 1946 itu merupakan momentum penting. Mengingat salah-satu syarat berdirinya sebuah negara adalah adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain.
Ketua Komunitas Blambangan Royal Volunteer (Bravo), Hidayat Aji Ramawidi menyampaikan, agresi militer Belanda I atau yang disebut dengan istilah Operatie Product adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera yang dilaksanakan dari tahun 1946-1947. Operasi Produk merupakan istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan utamanya untuk merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya. Serta daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak dan perkebunan. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil. Yakni dengan mengklaim sebagai urusan dalam negeri Belanda karena menganggap Indonesia adalah wilayah milik mereka.
Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan dilengkapi persenjataan yang modern.
Terdapat 3 wilayah yang menjadi fokus serangan, meliputi Sumatra Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Timur sendiri, sasaran utamanya adalah Javas Oosthoek yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Balambangan, mulai dari Lumajang hingga Banyuwangi. alasanya, disitu terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
“Dalam agresi militer I, Belanda berhasil merebut daerah-daerah penting di Indonesia, daerah yang kaya, seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan,” kata Aji, sapaan akrab Hidayat Aji Ramawidi, Sabtu (26/8/2023).
Dalam buku berjudul Pasukan-M, Menang Tak Dibilang, Gugur Tak Dikenang, lanjut Aji, disebutkan bahwa di ujung timur Pulau Jawa, menjelang fajar sejumlah besar kapal perang Belanda terlihat sudah bersiaga di Selat Bali.
Mereka memuntahkan tembakan artileri dan senjata berat lainnya selama beberapa jam ke arah pos-pos Pasukan-M. Terutama pos ang berada di Pantai Sukowidi dan pos pasukan lainnya di sepanjang pantai. Serangan ini menjadi penanda dimulainya agresi militer I Belanda.
Mendapatkan serangan, Pasukan-M melakukan perlawanan. Perang pun pecah. Setelah dua kali gagal mendarat di sekitar Sukowidi, karena mendapat perlawanan, Belanda akhimya mendarat di Ketapang dan Watudodol (sebelah utara Kota Banyuwangi) pada tanggal 21 juli 1946. Dari sana mereka menuju ke selatan dengan konvoi tank-tank besar dan kendaraan lapis baja lainnya.
Masih di bulan Juli 1946, Belanda kembali membombardir pelabuhan Banyuwangi, dari laut dan udara selama tiga hari berturut-turut. Penyebabnya karena dianggap sebagai tempat penyimpanan sekaligus pengiriman beras dengan menggunakan kapal menuju ke India. Saat itu masyarakat India sedang mengalami kelaparan.
Dan sebelumnya, pada April 1946, Perdana Menteri Republik Indonesia, Sutan Sjahrir, sebagai salah satu gestur diplomatik untuk meraih dukungan internasional, menawarkan bantuan beras kepada India sebanyak 500.000 ton. Bantuan itu disambut baik India. Diplomasi beras ini penting bagi Republik Indonesia yang usianya belum genap setahun dan lautnya tengah diblokade oleh Belanda.
Menurut laporan majalah The Voice of Free Indonesia, edisi 23–24 (29 Juni–6 Juli 1946), disebutkan bahwa pada 23 Juni 1946, Bupati Banyuwangi saat itu, R. Oesman Soemodinoto, diangkat sebagai ketua komite yang mengurus pengumpulan beras berikut pengiriman via kapal laut ke India.
Mengetahui hal itu, Belanda tidak tinggal diam. Beragam usaha dilakukan untuk menggagalkan pengiriman beras ke India. Sekaligus mencegah adanya pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Pada 2 Juli 1946, koran Kedaulatan Rakjat yang terbit di Yogyakarta memberitakan bahwa di Banyuwangi sudah tersedia sekitar 20.000 ton beras untuk dikirim ke India. Beras tersebut hasil pengumpulan di bawah komando Banyuwangi dan Besuki.
Dilaporkan bahwa transportasi beras dari sawah-sawah di pedalaman Jawa menuju pelabuhan Banyuwangi menjadi suatu parade. Tak hanya prahoto (mobil truk bak terbuka) yang membawa beras itu, tapi juga cikar dan kereta api. Para petani khususnya di Banyuwangi, berpartisipasi membawa beras-berasnya. Pergerakan manusia dan barang dalam skala cukup besar ini tentu saja menarik perhatian Belanda. Akhirnya, pada 3 Juli 1946, Banyuwangi, diwilayah Ketapang dan Blimbingsari, dihujani bom oleh kapal-kapal perang Belanda.
“Konvoi pasukan Belanda selanjutnya menuju ke selatan. Kendaraan mereka terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar, “NAAR ROGODJAMPI” yang berarti menuju Rogojampi. Hal ini karena di Rogojampi ada banyak gudang dan pabrik penghasil produk komoditi yang menjadi tujuan utama agresi ini,” beber Aji.
Dibalik agresi militer Belanda I tersebut, masih Aji, muncul salah satu negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia, yakni India. Pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia oleh India ini, disampaikan secara resmi pada 2 September 1946, oleh Perdana Menteri, Jawaharlal Nehru.
“Apabila salah-satu syarat berdirinya sebuah negara adalah adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain, maka Diplomasi Beras tersebut merupakan jasa besar Banyuwangi untuk NKRI,” cetus pegiat sejarah sekaligus Ketua Komunitas Blambangan Royal Volunteer (Bravo), Hidayat Aji Ramawidi. (*)
Apa Reaksi Anda?