Mengusut Kasus Kelaparan di Negeri Kaya Sumber Daya Alam
Kelaparan tengah menghantui warga Papua Tengah. Tercatat bahwa 7500 jiwa terkena dampak dari kekeringan dan kelaparan, lebih parah lagi, enam orang dinyatakan meninggal a ...
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kelaparan tengah menghantui warga Papua Tengah. Tercatat bahwa 7500 jiwa terkena dampak dari kekeringan dan kelaparan, lebih parah lagi, enam orang dinyatakan meninggal akibat kelaparan.
Hal ini ternyata bukanlah kasus baru di Papua, lebih tepat disebut kasus berulang. Bahkan 55 warga Yahukimo tercatat meninggal karena kelaparan pada tahun 2009.
Lalu per Juni 2015, 11 warga Lanny Jaya dinyatakan meninggal karena kelaparan. Pada 2022 kemarin, empat orang meninggal karena kasus yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kelaparan merupakan kasus serius yang harus ditangani oleh pemerintah Indonesia.
Kasus kelaparan ini diduga karena sumber pasok pangan yang tidak cukup bagi warga. Stok pangan yang menipis disebabkan oleh gagal panen akibat badai El Nino. Bantuan sosial berupa pangan, energi, dan bantuan lainnya berangsur disalurkan kepada warga Papua Tengah.
Namun, pihak pemberi bantuan sempat mengalami kendala dalam penyaluran bantuan. Faktor keamanan dan akses menjadi penyebabnya. Wilayah bencana yakni Distrik Lambewi dan Distrik Agandume yang menjadi pusat kasus kelaparan hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki dari Distrik Sinak.
Cara lainnya ialah dapat diakses dengan pesawat terbang. Namun, pemberi bantuan mengalami kendala dalam mendapatkan layanan penerbangan sebab faktor ancaman Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Wilayah itu masuk dalam kawasan pelintasan KKB. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Irjen Mathius D. Fakiri menyatakan bahwa, salah satu cara agar bantuan bisa diterima adalah dengan memobilisasi warga di lokasi bencana menuju Distrik Sinak dengan jalan kaki.
"Kita mobilisasi masyarakat ini datang ke Sinak untuk bisa mengambil bahan pokok," kata dia di Jayapura, Kamis (27/7/2023).
Kasus kelaparan ini menggambarkan ketidak seriusan Pemerintah dalam menyejahterakan warga di Papua Tengah. Kita tahu bahwa Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah dan menghasilkan keuntungan ekonomi yang tinggi.
PT Freeport Indonesia pernah memperoleh keuntungan sekitar 4.2 miliar dollar (sekitar 42 triliun rupiah) dalam satu tahun, namun pemerintah Indonesia hanya dapat sekitar 9% saja dari keuntungan tersebut.
Selain itu, kasus kelaparan yang cenderung berulang pun menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi tersebut hampir tidak berdampak apapun bagi kesejahteraan rakyat.
Jika memang kasus kelaparan ini karena cuaca yang ekstrem, bukankah BMKG telah memeringati Pemda dari jauh-jauh hari? Mengapa tidak ada mitigasi yang dilakukan?
Pertanian hari ini sudah modern, kita dapat membuat greenhouse-greenhouse dengan lingkungan terkendali. Kita dapat menanam varietas-varietas tahan stres abiotik.
Banyak cara di pertanian modern yang dapat menyiasati gagal panen akibat cuaca ekstrem. Adakah pemerintah terpikir hal itu? Meskipun begitu, pemerintah tetap menunaikan tanggung jawabnya untuk mengirim bantuan pada korban.
Namun, hal ini tetap menyulitkan korban. “Sudah jadi korban, disuruh berjalan dua jam pula”, itulah kira-kira gambaran pilunya warga Papua Tengah. Keseriusan pemerintah dalam menangani kelaparan di Papua Tengah mesti ditagih.
Kesejahteraan rakyat tidak akan pernah dapat terwujud kecuali adanya political will. Tidak ada mitigasi kekeringan, bermusuhan dengan rakyatnya sendiri, akses ke lokasi yang sulit, korban disuruh jalan 2 jam untuk mendapatkan bantuan.
Fakta ini dapat menjadi acuan kita untuk mengukur seberapa jauh political will pemerintah untuk menyejahterakan warga di Papua. Sistem politik kapitalisme yang memiliki nafas keuntungan materi tidak akan pernah berjalan beriringan dengan kepentingan rakyat.
Jika urusan materi seperti keuntungan dari PT Freeport, pasti serius mengurusinya. Namun, jika soal kesejahteraan rakyat, kita dapat lihat faktanya. Oleh karena itu, akar masalah dari kelaparan ini bukanlah gagal panen semata. Namun, adanya sistem politik kapitalisme yang menghambat kesejahteraan di Papua.
Kekayaan sumber daya alam seharusnya kembali pada rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Berdasarkan hal ini, tambang di Papua tidak boleh diprivatisasi oleh segelintir pihak swasta apalagi asing. Kekayaan itu harus dimiliki oleh rakyat. Kita dapat membayangkan jika keuntungan 4.2 miliar dollar tadi diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, pastinya kasus kelaparan seperti ini tidak akan terjadi di Papua.
Sudah saatnya kita meninggalkan sistem politik kapitalisme dan kembali pada sistem politik Islam ala Rasulullah SAW. Kesejahteraan rakyat dijamin oleh firman Allah SWT dan hadits-hadits Nabi SAW, asalkan kita mau berhukum dengan hukum-Nya.
***
*) Oleh: Azka Algina (Mahasiswa Agronomi Universitas Padjadjaran)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Apa Reaksi Anda?