Lokakarya Asean Center for Energy: Potensi PLTA Pumped Storage Indonesia yang Melimpah
Asean Center for Energy (ACE) bekerjasama dengan Partnership for Infrastructure (P4I) telah menggelar lokakarya mengenai PLTA Pumped Storage bagi negara-negara anggota ASEAN (Capacity Building on…
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Asean Center for Energy (ACE) bekerjasama dengan Partnership for Infrastructure (P4I) telah menggelar lokakarya mengenai PLTA Pumped Storage bagi negara-negara anggota ASEAN (Capacity Building on Pump Hydro Energy Storage Potential in Southeast Asia).
Pada acara yang berlangsung pada 19-20 Maret ini, ACE mengundang sejumlah pakar dalam bidang PLTA pumped storage dari The Australian National University untuk memberikan wawasan mendalam tentang potensi penggunaan PLTA pumped storage sebagai solusi penyimpanan energi pada sistem kelistrikan masa depan. Para pakar yang terlibat dalam acara ini antara lain Profesor Andrew Blakers, Dr. Shahid Ali, Harry Thwaley, dan David Firnando Silalahi.
Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Terbarukan Kementerian ESDM, menekankan pentingnya untuk menjadikan hasil dari lokakarya ini sebagai landasan untuk tindakan nyata ke depan. "Kami berharap hasil dari capacity building ini dapat diimplementasikan dalam tindakan nyata untuk masa depan," ungkap Feby.
Dalam paparannya, Profesor Andrew Blakers menyatakan bahwa masa depan energi global akan bergantung pada energi surya dan angin. Pada tahun 2023, tambahan kapasitas pembangkit listrik baru secara global mencapai 530 Gigawatt, dimana 80% diantaranya berasal dari energi surya dan angin. "Energi surya dan angin yang semakin terjangkau telah berhasil memenangkan perlombaan energi," ungkap Andrew.
Negara-negara yang sedang melakukan transisi menuju emisi nol perlu memastikan sistem kelistrikan mereka sepenuhnya disuplai oleh energi terbarukan (100% renewables). Namun, tantangan muncul ketika matahari tidak bersinar atau angin tidak bertiup, oleh karena itu, penyimpanan energi menjadi penting. Namun, baterai kimia cenderung mahal. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh The Australian National University menawarkan solusi alternatif melalui PLTA pumped storage.
PLTA pumped storage bekerja dengan cara memanfaatkan kelebihan energi listrik, terutama dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) selama cuaca cerah. Energi listrik tersebut digunakan untuk memompa air ke waduk yang berada pada ketinggian lebih tinggi. Saat pasokan listrik dari PLTS berkurang, misalnya saat cuaca mendung atau pada malam hari, PLTA pumped storage dapat berfungsi sebagai pembangkit listrik dengan melepaskan air dari waduk yang lebih tinggi ke waduk yang lebih rendah, sehingga menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik.
PLTA pumped storage jenis off-river, yang ditemukan oleh Australian National University, berbeda dengan PLTA pumped storage konvensional yang memanfaatkan aliran sungai untuk membangun bendungan. PLTA pumped storage jenis off-river ini tidak memerlukan bendungan dan hanya membutuhkan sekitar 10% lahan yang diperlukan oleh PLTA pumped storage konvensional, sehingga memiliki dampak lingkungan yang minim dan biaya pembangunan yang lebih rendah.
Kebutuhan akan PLTA pumped storage di Indonesia juga menjadi sorotan dalam lokakarya ini. David Firnando Silalahi, yang juga merupakan mahasiswa doktoral di Australian National University, menyampaikan bahwa pada tahun 2050, saat penduduk ASEAN meningkat secara signifikan, kebutuhan akan listrik juga akan melonjak hingga mencapai 20 MWh per kapita. Dengan transisi penuh menuju energi terbarukan, diperkirakan sekitar 43 Terrawattjam (TWh) dengan daya 1600 Gigawatt (GW) akan dibutuhkan.
"Indonesia, dengan prediksi jumlah penduduk yang melebihi 300 juta pada tahun 2050, diperkirakan akan memerlukan sekitar 670 GW PLTA pumped storage dengan kapasitas penyimpanan 17 TWh," jelas David. Namun, proyek seperti PLTA Upper Cisokan 1 GW di Jawa Barat masih menghadapi kendala dalam hal pembiayaan, pengadaan lahan, dan dampak lingkungan. Oleh karena itu, skema PLTA pumped storage off-river yang dikembangkan oleh tim ANU dapat menjadi solusi yang tepat untuk Indonesia.
David juga menyampaikan bahwa melalui penelitian yang dilakukan, telah berhasil dipetakan sebanyak 26 lokasi potensial untuk pengembangan PLTA pumped storage dengan kapasitas 5000 GWh, 290 lokasi untuk 1500 GWh, 1450 lokasi untuk 500 GWh, dan lebih dari 4000 lokasi untuk 150 GWh. "Kita memiliki banyak pilihan dari potensi terbaik yang tersedia," tambahnya. Dia juga menekankan pentingnya bagi Indonesia, melalui Kementerian ESDM dan PLN, untuk melakukan studi lanjutan dalam memanfaatkan peta hasil penelitian tersebut untuk mempercepat transisi energi.
Apa Reaksi Anda?