Jokowi Klarifikasi Soal Larangan Buka Puasa Bersama Bulan Ramadan
Presiden RI Jokowi (Joko Widodo) menyampaikan, kebijakan untuk tak mengadakan buka puasa bersama di Bulan Ramadan ini hanya berlaku bagi para pejabat di internal pemerint ...
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Presiden RI Jokowi (Joko Widodo) menyampaikan, kebijakan untuk tak mengadakan buka puasa bersama di Bulan Ramadan ini hanya berlaku bagi para pejabat di internal pemerintahan, bukan berlaku untuk masyarakat umum.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Negara Negara sebagai klarifikasi yang sebelumnya kebijakan tersebut menuai kritik dari banyak pihak. Presiden Jokowi pun didesak agar kebijakan itu dicabut.
"Arahan untuk tidak berbuka puasa bersama itu hanya ditunjukkan untuk internal pemerintah, khususnya para menko, para menteri, dan kepala lembaga pemerintah non-kementerian, bukan untuk masyarakat umum. Sekali lagi, bukan untuk masyarakat umum," katanya dengan tegas dikutip TIMES Indonesia dari laman resmi Setkab RI, Selasa (28/3/2023).
Mantan Wali Kota Solo itu menyampaikan, arahan itu dikeluarkan karena begitu banyak sorotan masyarakat terhadap kehidupan para pejabat pemerintahan saat ini. Oleh karenanya, ia meminta jajarannya untuk mengedepankan semangat kesederhanaan dalam menyambut Bulan Ramadhan ini.
"Saya minta agar jajaran pemerintah menyambut bulan puasa tahun ini dengan semangat kesederhanaan, tidak berlebihan," jelasnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta pun meminta pemerintah untuk mengalihkan anggaran buka puasa bersama untuk kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti pemberian santunan dan pasar murah.
"Kita bantu mereka yang lebih membutuhkan, pemberian santunan untuk fakir miskin, pemberian santunan untuk yatim piatu, serta masyarakat yang benar-benar membutuhkan," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi melarang pejabat dan ASN melakukan buka puasa bersama selama Bulan Ramadhan ini. Alasannya, karena Pandemi Covid-19 menuju endemi.
Larangan itu tertuang dalam surat Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor 38/Seskab/DKK/03/2023 perihal arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama, yang diteken Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Larangan itu pun menuai kritik dari banyak pihak. Dari PP Muhammadiyah misalnya, secara tegas minta agar keputusan Kepala Negara tersebut sebaiknya dicabut
"Sebenarnya tidak ada salahnya kalau surat itu dicabut, udahlah dicabut saja surat itu," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.
Menurutnya, hal tersebut akan sulit diterapkan. Itu karena, Covid-19 sudah redah dan hal itu sudah dinyatakan oleh pemerintah sendiri.
"Pada praktiknya juga akan sulit dilaksanakan, covid ini memang belum selesai, kita tidak boleh abai, tapi kita juga tidak boleh lebay," katanya.
Apalagi, lanjut dia, pada Bulan Ramadhan ini, aktif keagamaan juga bukan hanya Bukber saja. Melainkan sangat banyak, salah satunya yang tidak bisa dilarang adalah Sholat Terawih berjamaah di masjid.
"Kemudian pertanyaannya, kalau yang dilarang itu buka (puasa barang), yang lainnya bagaimana? Aktivitas di bulan Ramadhan kan hanya berbuka," ujarnya.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra juga menyarankan agar kebijakan Jokowi tersebut dihapus saja.
Ahli Hukum Tata Negara itu meminta agar pemerintah tak melarang kegiatan Bukber yang dilakukan umat Islam, baik di lingkungan instansi pemerintah maupun masyarakat.
Ia pun khawatir larangan Presiden Jokowi tersebut akan menuai penilaian masyarakat terhadap pemerintah sebagai gerakan anti Islam.
"Saya khawatir surat tersebut dijadikan sebagai bahan untuk menyudutkan pemerintah dan menuduh pemerintah, Presiden Jokowi anti Islam," katanya dalam keterangan resminya.
Tokoh Nasionalis Din Syamsuddin juga mengkritik keputusan Presiden Jokowi tersebut. Ia bahkan menilai, pemerintah tidak arif dan tak adil dalam hal tersebut.
"Tidak arif karena terkesan tidak memahami makna dan hikmah Buka Puasa Bersama antara lain untuk meningkatkan silaturahim yang justeru positif bagi peningkatan kerja dan kinerja Aparatur Sipil Negara," jelasnya kepada TIMES Indonesia.
Tidak adil, kata dia, karena nyata alasannya mengada-ada, yaitu masih adanya bahaya Covid-19. "Bukankah Presiden (Jokowi) sendiri melanggar ucapannya sendiri dengan mengadakan acara pernikahan putranya yang mewah dan mengundang kerumunan?," ujarnya. (*)
Apa Reaksi Anda?