Soal Pernyataan Presiden Boleh Kampanye, Ini Komentar Pakar Politik dan Kebijakan Publik
Belakangan ini ramai soal pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa presiden boleh kampanye. Jokowi mengatakan bahwa presiden boleh memihak dan kampanye asa ...
TIMESINDONESIA, MALANG – Belakangan ini ramai soal pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa presiden boleh kampanye. Jokowi mengatakan bahwa presiden boleh memihak dan kampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara. Hal ini menuai beragam reaksi dari publik. Salah satunya datang dari Pakar Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin.
Andhyka mengatakan, aturan soal kampanye sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Seperti dalam Bagian Kedelapan tentang Kampanye Pemilu oleh Presiden dan Wakil Presiden dan Pejabat Negara Lainnya.
Aturan soal presiden boleh kampanye termuat dalam Pasal 299. Pasal tersebut menyebut hak kampanye presiden dan wakil presiden. Termasuk pejabat negara juga mempunyai untuk kampanye. Dalam aturan tersebut juga diterangkan bahwa boleh berkampanye, tetapi tidak boleh memakai fasilitas negara, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pemilu pada pasal 304.
Namun begitu, akan selalu ada fasilitas negara yang melekat pada presiden seperti keamanan, protokoler dan lain sebagainya yang mengikat dan itu semua dibiayai oleh APBN seperti yang ada pada pasal 305
"Memang betul ada aturan yang mengikat, tetapi apakah itu etis? Dan pejabat yang melakukan kampanye seperti presiden harus melakukan cuti yang diajukan ke pimpinan. Pertanyaannya, presiden itu atasannya siapa?," ucapnya.
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB itu menilai, dengan adanya hal semacam ini, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Aparat pemerintah dianggap sebagai bagian dari “beban” kehidupan mereka, dan bukan sebagai solusi atas permasalahan masyarakat.
"Oleh karena itu, saya ingin mengingatkan kembali tentang pentingnya aparat pemerintah atau pejabat publik untuk tunduk pada etika yang melingkupi dirinya, yakni etika kekuasaan atau etika publik," tegasnya.
Andhyka melanjutkan, etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik atau buruk, benar atau salah yang harus dilakukan, atau bagaimana melakukan yang baik atau benar. Sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam hal ini adalah pejabat publik.
"Dalam sebuah organisasi yang begitu besar seperti negara, para pejabat dan jajarannya harus memahami betapa pentingnya kesamaan semangat dan perilaku yang produktif agar tujuan pelayanan publik tercapai dengan baik," kata dia.
Andhyka juga mengutip sebuah buku berbahasa inggris karya para pakar bidang Administrasi Publik H George Frederickson dan David K Hart yang berjudul 'The Public Service and the Patriotism of Benevoience', yang didalamnya mengatakan bahwa 'pegawai negeri harus menjadi filsuf moral dan aktivis moral, yang memerlukan: pertama, pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai rezim, dan kedua, rasa kebajikan yang luas terhadap masyarakat.
"Maka sebagai aparat pemerintah, para pejabat publik wajib menaati prosedur, tata kerja dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah," tuturnya.
Andhyka menyebut, sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Dan sebagai manusia yang bermoral, pejabat dan jajarannya harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan kata lain, seorang pejabat dan pegawai pemerintah harus memiliki kewaspadaan profesional dan kewaspadaan spiritual.
"Yang harus dipahami bahwa setiap jabatan dalam organisasi publik mengandung implikasi kekuasaan (power, authority). Kekuasaan itu dimiliki oleh setiap pejabat di dalam setiap jenjang organisasi," ujarnya.
Artinya, setiap pejabat publik dari level Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi hingga seorang pegawai sebuah kecamatan yang tugasnya melayani perpanjangan KTP memiliki kekuasaan dalam lingkupnya masing-masing.
Seorang Presiden memiliki kekuasaan yang luas untuk memimpin sebuah negara dan sepanjang masa pemerintahannya dia bisa menentukan alokasi sumberdaya negara untuk berbagai kegiatan dalam pemerintahan.
"Kebijakan yang diambil oleh seorang Presiden tentu akan sangat berpengaruh karena kekuasaan yang dipegangnya," kata dia.
Setiap jenjang pemerintahan memiliki lingkup kekuasaan masing-masing yang dipegang oleh pejabatnya. Semakin tinggi dan luas kekuasaan seorang pejabat, semakin besar juga implikasi dari penggunaan kekuasaan bagi warga masyarakat.
Oleh sebab itu, azas etika publik mensyaratkan agar setiap bentuk kekuasaan pejabat dibatasi dengan norma etika maupun norma hukum. Etika publik juga mengharuskan agar setiap kekuasaan dipergunakan dengan tanggung jawab sesuai dengan lingkupnya masing-masing.
"Jadi, mulailah memilih dan memilah tindak tanduk sebagai pejabat publik. Karena setiap apa yang dilakukan oleh pejabat publik mempunyai pengaruh di masyarakat," pungkas Andhyka. (*)
Apa Reaksi Anda?