Refleksi Hukum Di Akhir Penghujung Tahun
Masalah penegakan hukum di akhir Penghujung Tahun terletak pada 5 faktor yang mempengaruhinya.
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Masalah penegakan hukum di akhir Penghujung Tahun terletak pada 5 faktor yang mempengaruhinya. Menurut Praktisi Hukum JJ Amstrong Sembiring merupakan mantan Capim KPK tahun 2018 - 2023 yaitu faktor-faktor tersebut adalah pertama, faktor hukumnya, kedua faktor penegak hukum, ketiga, faktor sarana atau fasilitas, keempat faktor masyarakat dan kelima faktor kebudayaan.
Pertama, faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksudkan adalah Undang-Undang (“UU”) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah.
Penegakan hukum yang berasal dari UU itu disebabkan a). tidak diikutinya azas-azas berlakunya, UU
b). belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, c). Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Disamping itu adalah ketidakjelasan dalam kata-kata yang dipergunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Hal itu disebabkan, karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali.
Konsekuensi ini peraturan yang memuat pasal dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiinterpretasi) dan menyebabkan kesimpang siuran dalam penafsiran atau penerapannya sehingga pada akhirnya menimbulkan konflik. Artinya, faktor hukum yaitu peraturan yang memiliki ketidakjelasan kata-kata dalam perumusan pasal-pasalnya terbukti telah mempengaruhi penegakan hukum terhadap sengketa di Indonesia.
Masalah itu tumbuh karena meskipun UU telah disahkan dan berlaku, tetapi hingga batas waktu tertentu belum juga dibuat peraturan pelaksanaannya sebagai perintah Undang-undang, sehingga akibatnya beberapa pasal dari UU tidak dapat dijalankan.
Misalnya, salah satu kewajiban perusahaan melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diatur Pasal 74 ayat (3) dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang mengatur bahwa ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Namun, hingga sekarang ini Peraturan Pemerintah tersebut belumlah juga dibuat atau dikeluarkan oleh Pemerintah. Akibat tiadanya Peraturan Pemerintah akan berdampak pada tidak dapat dilaksanakan perintah dilakukannya Corporate Social Responsibility (CSR) tersebut.
Hal ini juga berarti bahwa tidaklah ada kewajiban bagi perusahaan untuk melakukannya, karena memang tidak tahu bagaimana CSR seharusnya itu dilaksanakan dan dijalankan, hingga nanti Peraturan Pemerintah itu dikeluarkan.
Persoalan lain yang seringkali timbul di dalam UU adalah ketidakjelasan kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan pasal-pasal tertentu.
Kemungkinan hal itu disebabkan oleh karena penggunaan kata-kata yang artyinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau misalnya karena soal terjemahan bahasa asing yang kurang tepat.
Ketidakjelasan arti dapat dijumpai, misalnya, pada 8 ayat (1) Undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, yang berbunyi bahwa “Pemerintah mengusahakan pengobatan dan perawatam untuk masyarakat di seluruh wilayah Indonesia secara merata, agar tiap-tiap orang sakit dapat memperoleh pengobatan dan perawatan dengan biaya yang seringan-ringannya” Yang menjadi pertanyaan terhadap ketententuan tersebut adalah apakah yang sebenarnya diartikan dengan “biaya yang seringan-ringannya” ?.
Berapa nilai ringan tersebut juga tidaklah dijelaskan dalam ketentuan penjelasannya dari UU tersebut. Hal ini yang tidak jelas maksudnya, sehingga ketidakjelasan arti kata-kata itu di dalam UU yang mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya di dalam prakteknya.
Dengan kondisi ini menjadikan dilemma yang tidak mudah bagi para penegak hukum untuk menjalankan ketentuan yang telah diatur dalam UU tersebut dan dampak negatif dari hal ini adalah UU hanya mengatur, tetapi dijalankan. Yang menjadikan demikian ini adalah UU itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Mengatur, tetapi tidak berjalan dan berhenti sendirinya.
Kedua, faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan.
Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana.
Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum.
Penyebabnya antara lain, pertama rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat; Kedua, Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place; Ketiga, rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum; Keempat, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang terintegrasi, baik dan moderen; Kelima, kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman; Terakhir hal yang kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan.
Praktek penegakan hukum semakin sulit, karena kurang lemahnya koordinasi di antara penegak hukum, baik pada tataran teroritis dan kaidah, maupun dalam tingkat operasionalnya. Padahal, koordinasi hukum itu adalah salah satu faktor penting bagi pemberdayaan hukum kepada masyarakat.
Berpijak pada kurang baiknya koordinasi antarpenegak hukum ini, maka kemudian bergemalah keinginan mewujudkan pendekatan hukum terpadu pada keadilan (integrated justice system). Dengan keadaan demikian ini, maka penegak hukum yang tidak dapat menjalankan UU sebagaimana yang seharusnya telah diamanatkan di dalam UU dan akan berdampak negatif terhadap penegakan hukumnya.
Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing.
Proses penerimaan menjadi penegak hukum sebenarnya sudah memenuhi syarat menghasilkan, misalnya, aparat kepolisian yang memiliki kemampuan baik melayani masyarakat. Tetapi di dalam kenyataannya, sering kali proses penerimaan tersebut dinodai dengan adanya suap atau jumlah orang yang sedikit untuk mau menjadi anggota penegak hukum.
Sehingga, kualitas daripada anggota penegak hukum tersebut perlu dipertanyakan dan banyak yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan. Akibatnya para penegak hukum cenderung lebih sedikit daripada jumlah masyarakatnya yang terus bertambah banyak, sehingga aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal sebagai sarana penegakan hukum.
Diasmping itu juga faktor pihak manajemen pengadilan ikut menambah sulitnya unsur penegakan hukum di lapangan.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam faktor-faktor penghambat lamanya proses penyelesaian dalam peradilan yaitu banding dan kasasi : terlampau banyak kasus, berkas yang tidak lengkap, rumitnya perkara, kurangnya komunikasi antar lembaga pengadilan, kurangnya sarana atau fasilitas dan adanya tugas sampingan para hakim menambah sulitnya penegakan hukum.
Terdapatnya hambatan di dalam penyelesaian perkara bukan semata-mata disebabkan karena banyaknya perkara yang harus segera diselesaikan, sedangkan waktu untuk mengadilinya dan juga usaha menyelesaikannya adalah terbatas.
Kalau yang dilakukan hanyalah dengan menambah jumlah hakim untuk menyelesaikan perkara, maka hal itu hanyalah mempunyai dampak yang sangat kecil terutama dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, yang perlu diperhitungkan tidaklah hanya biaya yang harus dikeluarkan apabila terjadi hambatan dalam penyelesaian perkara, akan tetapi yang juga perlu diperhitungkan dengan matang adalah biaya yang harus ada kalau hambatan penyelesaian perkara itu tidak terjadi lagi, sehingga dimanfaatkan secara maksimal oleh para pencari keadilan.
Termasuk juga penguasaan bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan teknologi adalah tantangan besar kebutuhan akan hadirnya sarana dan prasana dalam bidang kejahatan berdimensi internet.
Untuk itulah, maka kemampuan menguasai sarana teknologi terbarukan adalah kewajiban yang tidak dapat ditolak sarana dan prasana untuk maksud itu.
Keempat, faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.
Seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya.
Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang ada.
Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut.
Dalam garis besar, masyarakat di Indonesia terbagi dua yaitu masyarakat kalangan atas (orang kaya) dan kalangan bawah (orang miskin). Penegakan hukum diantara keduanya pun sangat berbeda penyelesaiannya. Hal ini karena pola pikir dan pengetahuan yang jelas berbeda.
Jika orang kalangan bawah, keinginan atau taatnya pada suatu hukum oleh seseorang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mau mematuhi hukum yang telah diatur.
Hal ini, disebabkan kurang pengetahuan dan pendidikan yang mereka miliki sangat terbatas, dan tidak dapat mengetahui bahwa ada sanksi yang akan mengikat jika dilanggar (blue collar crime).
Sedangkan, orang-orang kalangan atas cenderung mengikuti hukum atau aturan-aturan yang ada, karena mereka lebih memiliki pengetahuan yang banyak tentang hukum dan mengetahui sanksinya. Hal ini terjadi cenderung lebih bersifat tertib.
Pada kalangan atas ini jika terjadi kejahatan, maka dapat dikatakan white collar crime (untuk kepentingan semata). Masyarakat di Indonesia semakin lama, jumlah masyarakat miskinnya semakin banyak. Sehingga jika dilihat dari faktor masyarakat, maka masalah kejahatan atau penegakan hukum ini ada di lapisan ini.
Setiap stratifikasi sosial memiliki dasar-dasarnya tersendiri, sehingga dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberian pengetahuan hukum kepada masyarakat yang mungkin tidak begitu mengerti akan hukum sehingga memudahkan mereka untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di lingkungannya.
Kelima, faktor Kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain.
Pada dasarnya, kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Sebenarnya, faktor kebudayaan memiliki kemiripan dengan faktor masyarakat. Hanya saja, di dalam faktor kebudayaan lebih ditekankan mengenai masalah sistem nilai-nilai yang ada di tengahnya masyarakat. Dalam faktor masyarakat, dikatakan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap ketataan aturan masyarakat masih rendah.
Hal ini, dikarenakan adanya budaya kompromistis sering terjadi masyarakat Indonesia. Kenyataannya, akan terdapat kecenderungan budaya masyarakat untuk meloloskan diri dari aturan yang berlaku menjadi-jadi.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, maka nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai-nilai konservatisme dan nilai inovatisme, senantiasa berperan di dalam perkembangan hukum, oleh karena di satu pihak ada yang menyatakan bahwa hukum hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan status quo.
Dengan kondisi demikian, maka penegakan hukum harus juga dapat memahami permasalahan unsur budaya yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum. Penegakan hukum jika dilihat dari kebudayaan, dapat ditelusuri dari zaman dahulu kala, pada saat masa-masa zaman kerajaan.
Orang-orang tertentu jika ingin bertemu raja atau menginginkan sesuatu jabatan dari raja atau keinginan lainnya akan memeberikan upeti pada orang yang bersangkutan atau pada raja supaya apa yang diinginkannya cepat tercapai.
Hal ini ternyata masih berlanjut sampai sekarang, hanya saja bentuk dan namanya yang telah berbeda. Pada zaman sekarang dikenal dengan adanya suap. Hal ini sudah tidak asing lagi karena sudah menjadi rahasia umum untuk hampir semua instansi pemerintah pernah mengalaminya. Suap ini dapat terus ada dan menjadi budaya karena adanya penjual dan pembeli daripada suap tersebut dari waktu ke waktu.
Penjualnya adalah para penegak hukum, yang mengambil keuntungan untuk pribadinya dan tidak menjalankan peraturan yang ada sebagaimana mestinya. Sedangkan dari pembeli adalah orang yang bersedia membayar aparat atau instansi tersebut supaya apa yang diinginkan agar dapat cepat terealisasikan dengan mengabaikan hukumnya itu sendiri. Hal ini menunjukan kelemahan budaya dalam penegakan hukum yang ada. Tentu sampai kapan pun jika budaya ini tidak hilang, penegakan hukum akan berjalan sebagaimana mestinya.
Di dalam penegakan hukum jelaslah bahwa kelima faktor tersebut di atas, dalam realitas hubungannya, akan saling berkaitan erat antara satu dengan lainnya. Hal ini, karena di dalam penegakan hukum satu dengan yang lainnya akan dapat saling mempengaruhi dalam perjalanan penegakannya.
Kelemahan yang satu berdampak kepada kendala yang lainnya, karena keseluruhannya menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta dalam rangka mempeoleh tolok ukur dari efektifitas penegakan hukumnya.
Dari lima faktor masalah penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri itu menjadi titik sentralnya. Hal ini disebabkan baik karena undang-undangnya disusun penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga, merupakan panutan oleh masyarakat luas, sehingga kedudukannya menjadi sangat menentukan di dalam penegakan hukumnya.
Meskipun diakui bahwa tidak menjelaskan faktor manakah yang sangat berpengaruh besar dari keseluruhan faktor tersebut, tetapi yang patut dicatat adalah bahwa salah satu faktornya dapat mendukung membentuk efektifitas hukum dalam penegakan hukumnya.
Namun, dengan memperhatikan sistematikanya dari kelima faktor ini jika difungsikan secara optimal penegakan hukum, maka setidaknya hukum itu dinilai dapat dikategorisasikan efektif. Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan sistematika itu dapat membangun efektifitas penegakan hukum, seharusnya, diawali mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimanakah masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun.
Artinya, tata urutannya dapat dipredisikan dasar berpikirnya dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu, maka masalah-masalah yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya.
Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. (*)
Apa Reaksi Anda?