Maslahah ‘Ammah dan Utilitarianisme pada Peraturan Daerah tentang Larangan Kegiatan Selama Bulan Ramadan
Melaksanakan ibadah puasa merupakan kewajiban bagi setiap Muslim saat bulan Ramadan. Untuk menjaga kondusifitas pelaksanaan ibadah puasa,
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Melaksanakan ibadah puasa merupakan kewajiban bagi setiap Muslim saat bulan Ramadan. Untuk menjaga kondusifitas pelaksanaan ibadah puasa, beberapa Pemerintahan Daerah terapkan Peraturan Daerah tentang larangan kegiatan pada bulan Ramadan. Hal ini menjadi pro dan kontra Kelompok kontra juga memandang Perda syariat yang merupakan bagian bentuk penerapan syariat Islam, apabila diterapkan secara terburu-buru hanya akan memunculkan paradoks dan konflik di antara kaum muslim dan juga masyarakat Indonesia secara umum. Kelompok pro beragumentasi bahwa Perda syariat di samping tidak bertentangan dengan konstitusi juga membuat masyarakat merasa aman dan senang karena dengan perda tersebut kehidupan sosial mereka menjadi lebih baik.
Melaksanakan ibadah puasa merupakan kewajiban bagi setiap Muslim saat bulan Ramadhan. Untuk menjaga kondusifitas pelaksanaan ibadah puasa, beberapa Pemerintahan Daerah terapkan Peraturan Daerah tentang larangan kegiatan pada bulan Ramadhan. Hal ini menjadi pro dan kontra Kelompok kontra juga memandang Perda syariat yang merupakan bagian bentuk penerapan syariat Islam, apabila diterapkan secara terburu-buru hanya akan memunculkan paradoks dan konflik di antara kaum muslim dan juga masyarakat Indonesia secara umum. Kelompok pro beragumentasi bahwa Perda syariat di samping tidak bertentangan dengan konstitusi juga membuat masyarakat merasa aman dan senang karena dengan perda tersebut kehidupan sosial mereka menjadi lebih baik.
Fokus pada tujuan universal dari suatu hukum adalah "Kebaikan bersama” (Maslahah ‘Ammah) yang dipandang sebagai tujuan tertinggi dari penerapan suatu hukum. Dan dalam pembentukan hukum tidak boleh mengabaikan tiga maslahah, Pertama, Dharuriyyat yaitu maslahat yang bersifat primer, di mana kehidupan manusia tergantung padanya, baik aspek duniawi maupun agama. "Aspek ini tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan manusia, apabila unsur ini ditinggalkan maka akan terjadi ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupannya,". Kedua, Hajiyyat yaitu mashlahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan manusia untuk mempermudah dalam kehidupan serta menghilangkan kesukaran maupun kesulitan. Ketiga, Tahsiniyyat, artinya mashlahat yang merupakan moral, dan itu dimaksudkan sebagai pelengkap.
Sedangkan dalam teori utilitas (kemanfaatan) Jeremy Bentham, di dalam karyanya yang berjudul Introduction to the Princples of Morals and Legislation, terdapat agadium ‚the greatest happines for the greatest number‛ yang artinya,kebahagian yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak‛.
Dengan demikian, hukum harus mengusahakan kebahagiaan maksimum bagi sebanyak mungkin orang. Hak-hak individu harus berada di bawah kebutuhan-kebutuhan masyarakat, merupakan standar etik dan yuridis dalam kehidupan sosial. Dari sinilah Bentham menghubungkan hak-hak individu dengan kebutuhan-kebutuhan orang lain, dengan demikian, hukum diorientasikan pada kegunaanya, yaitu memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya sebagaimana prinsip yang dikemukakannya.
Hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya hukum juga merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial, bahwa semua tingkah laku manusia bertujuan untuk ‚mencari kesenangan dan menghindari kesusahan‛. Nilai utilitas (kemanfaatan) sesuatu benda atau tindakan (perbuatan) itu harus dinilai berdasarkan pada perbedaan antara kesenangan yang akan diperolehnya dan biaya (kesulitan) yang dikeluarkannya. alam formulasi hukum Islam, metode utilitas ini lebih dikenal dengan penalaran istislahiy, yang menetapkan hukum berdasarkan istislah ( kemaslahatan ), yang dalam teori utilitas dikenal dengan istilah kesejahteraan, dengan sasaran utamanya pada kesejahteraan masyarakat, atau dalam formulasi hukum Islam dikenal dengan istilah maslahah‘ ammah. Cara kerja istislah ini digunakan untuk menjawab berbagai persoalan hukum yang berkembang seiring perubahan dan pergerakan yang dialami manusia‚ Kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya, senantiasa mengarah pada kemaslahatan‛.
Mala prohibita atau malum prohibitum, adalah istilah latin yang mengacu kepada perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang, akan tetapi belum tentu ada yang dirugikan dengan adanya perbuatan tersebut. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga isitilah mala in se, yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undang-undang, akan tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab, sehingga walaupun masyarakat tersebut tidak pernah membaca Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun semua orang tahu perbuatan demikian adalah patut dan wajib diberi sanksi hukum secara tegas dan keras, karena meskipun di dalam dunia hukum, terdapat asas fiksi berbunyi semua orang dianggap tahu hukum, namun secara rasional asas hukum demikian adalah absurd adanya, sehingga dapat disimpulkan landasan dari mala in se adalah norma yang hidup di dalam masyarakat. Apakah melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tetapi idealnya, tidak semua perbuatan tersebut harus dilabeli sebagai perbuatan kriminal, terutama apabila mala prohibita yang terjadi tidak disertai dengan mala in se, atau dengan kata lain tidak menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pihak lain.
Maka seyogyanya setiap pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik (algemene benginselen van regelgeving). yaitu aspek ideal(ke atas) yang mempertimbangkan aspek filosofis dan teoritis. Selanjutnya aspek sosiologis (kebawah) yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Serta harus melihat sejarah atau aspek historis (ke belakang). Terakhir, Perda harus mempertimbangkan bagaimana proses implementasinya atau aspek teleologis (ke depan). “Perancang Harus bisa mengkawinkan empat aspek yang ada. Agar Perda menjadi implementatif dan tidak ada resistensi,” sehingga menjadikan Peraturan Daerah tersebut sebagai peraturan daerah yang responsive dan berkeadilan substantif bagi warga
Apa Reaksi Anda?