Dosen Psikologi UB: Mahasiswa Yang Punya Banyak Teman Tak Lepas Dari Rasa Kesepian
Punya banyak teman tak menjamin seseorang bakal lepas dari rasa kesepian. Hal itu diungkapkan oleh Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya (UB) Ari Pratiwi, S.Ps ...
TIMESINDONESIA, MALANG – Punya banyak teman tak menjamin seseorang bakal lepas dari rasa kesepian. Hal itu diungkapkan oleh Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya (UB) Ari Pratiwi, S.Psi., M.Psi. Dia mengatakan, kerap kali mahasiswa yang aktiv di berbagai organisasi di kampus dan punya banyak teman, melakukan konseling kepadanya. Mereka mengaku merasa kesepian .
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak selalu tampak memiliki banyak teman tidak berarti memiliki hubungan yang berkualitas.
"Semakin tidak terkoneksi dengan orang lain, mahasiswa akan rentan mengalami kesepian, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental mereka. Walaupun saluran bersosialisasi saat ini tampak banyak, namun ternyata tidak semua mahasiswa mampu menggunakan saluran tersebut," katanya.
Masalah kesehatan mental ini yang akhirnya kerap kali menjerumuskan seseorang untuk berfikir melakukan tindakan yang tidak baik, seperti bunuh diri. Yang nahasnya, saat ini kasus bunuh diri juga kerap kali terjadi di kalangan mahasiswa.
"Ada apa di kalangan mahasiswa? Apa yang membuat mereka melakukan bunuh diri? Di kala angkatan yang lebih tua menganggap mahasiswa masa kini hidup dalam fasilitas yang memadai, tidak sesusah angkatan-angkatan pendahulu," kata dosen yang saat ini sedang menempuh study di The University of Queensland.
Ari menambahkan, mahasiswa masa kini dianggap memiliki banyak kenyamanan dan kemudahan berkuliah daripada mereka yang dulu harus berdemo untuk menuntut banyak hal.
Mengapa mereka lalu bisa menjadi generasi yang (dianggap) lebih lemah?
Ari menjelaskan bunuh diri adalah hal yang kompleks. Hasil kombinasi dari faktor individual dan sosial berkontribusi terhadap pemikiran bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
"Sebuah penelitian sistematic review tentang resiko bunuh diri di kalangan mahasiswa menemukan bahwa resiko bunuh diri meningkat bila berkorelasi dengan masalah klinis dan psikologis, khususnya depresi, masalah tidur (secara kualitas maupun kuantitas) dan pengalaman traumatis atau peristiwa hidup yang penuh tekanan," kata Ari.
Individu yang pernah berusaha bunuh diri bisa jadi merasakan keputusasaan yang hebat, kesepian atau merasa tidak terhubung dengan orang lain (tidak memiliki siapa-siapa), beban hidup yang dirasakan sendiri dan tidak ada tujuan hidup.
Beberapa penelitian dari negara lain juga menambahkan faktor hubungan dengan orangtua/keluarga, masalah akademik dan masalah ekonomi sebagai faktor resiko bunuh diri. Apabila dilihat dari mahasiswa sekarang, beban perkuliahan dan gaya hidup dapat meningkatkan resiko terhadap masalah mental.
Dijelaskannya, Mental Heath Awareness atau membangun kesadaran kesehatan mental adalah hal yang tricky, seperti 2 mata pisau. "Jika edukasi tidak dilakukan, masyarakat tidak kunjung tahu tentang apakah gangguan mental dan bagaimana mental yang sehat itu seharusnya. Oleh karena itu, edukasi terus menerus perlu dilakukan terutama agar masyarakat bisa mengetahui dan mencegah masalah kesehatan mental," katanya.
Hanya saja, di sisi lain, ternyata bisa memancing potensi masalah mental yang sudah ada menjadi muncul ke permukaan.
Individu yang tadinya hanya menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya, menjadi mendiagnosis sendiri lalu mengambil keputusan sendiri yang dianggapnya paling sesuai.
"Kalau memang menjadi lebih sehat mental tentu tidak mengapa, namun bila kemudian salah jalan, mengakibatkan masalah mental yang lebih berat dan tentu saja bisa berakhir bunuh diri," katanya.
Menyinggung kasus bunuh diri yang terjadi beberapa waktu lalu, Ari mengatakan keluar dari rumah yang selama ini memberikan kenyamanan untuk kos atau kontrak di kota lain, tentu membutuhkan proses adaptasi yang tidak mudah bagi sebagian orang mahasiswa.
Memasuki dunia perkuliahan, mungkin saja berarti harus bersikap lebih dewasa, memasuki situasi baru dimana teman mungkin tidak mudah dijangkau, sementara teman lama sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing di tempat yang berbeda pula. Di fase ini, mahasiswa dapat merasa kesepian dan depresi.
"Selain itu, banyaknya aktivitas turut memengaruhi pola hidup mahasiswa. Kurang tidur memiliki pengaruh terhadap kematangan otak dan fungsi kognitif remaja, yang pada akhirnya berhubungan dengan meningkatnya resiko depresi dan kecemasan. Banyak pula mahasiswa yang melakukan konseling menyatakan kesulitan tidur pada malam hari, sehingga kelelahan dan baru tidur menjelang pagi," katanya.
Masalah akademik yang mungkin timbul juga turut berperan dalam meningkatnya resiko bunuh diri. Misalnya mahasiswa yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi, cenderung rentan terhadap kegagalan. Ketika merasa sudah mengusahakan yang terbaik namun hasil tidak sesuai harapan dan tidak memiliki resiliensi, maka mahasiswa rentan mengalami stress bahkan depresi.
Pengalaman buruk sebelumnya pun memiliki sumbangan pengaruh pada memburuknya kesehatan mental mahasiswa. Efek bullying di tingkat pendidikan sebelumnya seakan terakumulasi di tingkat pendidikan tinggi ini. Misalnya pada siswa korban bullying di Tingkat SMP atau SMA, mereka mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dan bekerjasama dengan orang lain.
Mereka cenderung mengalami trust issue dan harga diri yang rendah sehingga enggan melibatkan diri dalam kehidupan sosial mahasiswa pada umumnya.
Sekali lagi, efek bullying tidak selalu berakibat langsung, namun efek yang berkepanjangan dapat menimbulkan masalah mental di kemudian hari.
Siswa yang menjadi korban bullying memiliki kemungkinan lebih tinggi melakukan bunuh diri daripada yang tidak pernah mengalami bullying.
Penelitian di banyak negara menemukan adanya faktor keluarga dan permasalahannya sebagai salah satu pencetus bunuh diri di kalangan pelajar.
Dalam banyak layanan konseling, perselisihan mahasiswa dengan orangtua kerap muncul sebagai penyebab utama masalah mental. Orangtua yang tidak menjalankan fungsi sebagai orangtua, orangtua yang berpisah, orangtua yang toxic dan menuntut adalah yang sering digambarkan oleh mahasiswa.
Penelitian di Canada menunjukkan pengasuhan yang keras dikaitkan dengan peningkatan gejala agresi fisik remaja awal, agresi sosial dan keinginan bunuh diri pada remaja laki-laki. Lebih lanjut, perbedaan gender dalam perilaku bunuh diri telah dilaporkan secara global.
Perempuan memiliki tendensi lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri, namun laki-laki lebih berkomitmen untuk melakukan bunuh diri. WHO (2018) mengestimasi setidaknya 15 bunuh diri per 100.000 laki-laki dan 8 kasus bunuh diri per 100.000 perempuan terjadi secara global.
Ari menambahkan, selain beberapa faktor diatas, ternyata media juga berperan dalam perilaku bunuh diri. Hal ini karena adanya fenomena perilaku copycat pada orang yang telah memiliki ide bunuh diri sebelumnya.
Bagaimana media memaparkan kasus bunuh diri menjadi penting karena ketika media salah merilis kasus bunuh diri justru akan memicu orang lain untuk mengikuti atau ingin mencoba perilaku bunuh diri tersebut. (*)
Apa Reaksi Anda?